Senin, 07 September 2015

Tragedi Kampung Kraras - Timor Leste, Jejak Berdarah Kejahatan Prabowo Subianto

“Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo. Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke  Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi”
- Kolonel Purwanto


Ketika mendengar nama Prabowo Subianto, apa yang langsung dibayangkan oleh orang – orang tentang sosok yang satu ini? Mantan Danjen Kopassus, penjahat HAM, penculik aktivis, anti Cina, mantan menantu Presiden otoriter Soeharto, dan Capres Gerindra 2014. Inilah hal umum yang diketahui publik tentang Prabowo. Tetapi pernahkah kita mendengar tentang Kraras, sebuah kampung di Timor-Leste yang disebut sebagai ‘kampung janda’? Kampung Kraras memiliki hubungan erat dengan Kapten Prabowo.
September 1983. Hampir semua laki – laki termasuk anak laki – laki di kampung Kraras dibunuh oleh tentara Indonesia. Beberapa orang melarikan diri ke hutan. Saat ditangkap atau menyerahkan diri mereka dipaksa tinggal di sebuah tempat di Kraras yang bernama Lalerek Mutin. Di tempat ini banyak dari mereka yang mati kelaparan. Siapa dalang dibalik pembunuhan membabi buta di Kraras ini? Menurut Mario Carrascalao - Gubenur Timor Timur  waktu itu -  kejadian tragis pada 6 Agustus tersebut dikoordinir oleh Prabowo Subianto.
Tragedi Kraras ini berawal dari kasus pelecehan seksual yang dikabarnya dilakukan oleh para tentara Indonesia. Menurut Carrascalao dan sejumlah saksi mata, ada seorang anggota Hansip yang mengaku bahwa istrinya mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari anggota militer Indonesia. Anggota Hansip inilah yang kemudia bereaksi dan memukuli anggota militer yang mengganggu istrinya.
Carrascalao mengatakan, berdasarkan laporan yang sampai kepadanya, kejadian ini sudah diatur untuk menciptakan insiden. Pasalnya, Hansip yang memukuli anggota militer tersebut dibawa ke Viqueqe dan sebelum berangkat, Hansip meminta izin pulang ke rumah untuk mengambil pakaian. Namun setibanya di Kraras, istrinya berlari ke arahnya dan mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh beberapa tentara. Anggota Hansip yang memiliki kontak dengan gerilyawan di hutan, langsung melaporkan perihal tersebut kepada teman – temannya yang ia kenal selama masa gencatan senjata.
Pada tanggal 8 Agustus, pasukan Falintil dan anggota-anggota Ratih di bawah komando Virgílio dos Anjos (Ular Rheik) menyerang desa Kraras. Menewaskan 15 - 16 orang anggota batalyon zeni tempur (zipur). Salah seorang anggota zipur sedang berada di atap sebuah rumah sehingga ia selamat. Ia kemudian melaporkan serangan ini kepada komandan batalyon 501. Reaksi Pasukan Indonesia selanjutnya bisa ditebak.
Pada tanggal 7 September 1983, batalyon 501 memasuki desa Kraras yang sudah kosong dan membakar hampir semua rumah di sana. Sekitar 5 orang yang masih tinggal di desa, termasuk seorang perempuan tua, dibunuh dalam serangan ini. Mayat dari beberapa orang yang dibunuh dibakar bersama rumah-rumah mereka.
Menurut Mario Carrascalao Prabowo ditugaskan kembali ke Timor-Timur pada bulan September setelah serangan Falintil di Kraras, namun menurut sebuah sumber lain yang dikutip dalam wawancara dengan Mario, Prabowo kembali ke Timor pada 28 Agustus 1983.
“Orang-orang tahu bahwa ia dekat dengan Presiden Suharto dan beberapa orang lain dan bahwa ia dipercayai oleh mereka. Prabowo mengirim sebuah memo kepada para anggota militer untuk mengatasi situasi ini. Namun ketika kira-kira 200 warga desa Kraras keluar dari hutan, tentara Indonesia memisahkan 30 anak-anak dan membunuh mereka. Begitulah laporan orang-orang,” kata Mario Carrascalao.
Ketika pembantain Kraras terjadi, Prabowo ditugaskan untuk ketiga kalinya di Timor-Timur. CAVR mendapat kesaksian-kesaksian tentang keterlibatan berbagai kesatuan ABRI dalam pembantaian ini, termasuk Kodim 1630/Viqueque, Yonif 328, Yonif 501, dan Yonif 745, serta Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha). Beberapa sumber juga menyatakan kepada CAVR bahwa Prabowo terlibat dalam operasi untuk membawa penduduk sipil turun dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama kemudian beberapa ratus orang dibunuh tentara Indonesia. CAVR  juga menerima bukti keterlibatan Kopassus [sic] dalam pembunuhan-pembunuhan ini [lihat Chega! Bab 3. Sejarah Konflik, hal. 109]. Dari pihak Indonesia sendiri, Carrascalao dan bahkan Kolonel Purwanto mengkhawatirkan tindak-tanduk Prabowo saat itu. CAVR sendiri mensinyalir bahwa kemungkinan tindakan-tindakan pembunuhan itu dilakukan sebagai upaya untuk mensabotase terhadap gencatan senjata yang disepakati sebelumnya.
Sesaat sebelum digantikan oleh Kolonel Rudjito sebagai Komandan Korem Dili, Kolonel Purwanto pernah mengeluh kepada Mario Carrascalao tentang tindak-tanduk Prabowo. Timor Timur yang dinyatakan tertutup saat itu, tak seorangpun baik sipil ataupun militer yang boleh masuk atau meninggalkan Timor tanpa sepengetahuan Purwanto. Purwanto berkata kepada Carrascalao dalam sebuah kesempatan:
“Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo. Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke  Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi.”
Kisah ini merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan Prabowo dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kini Prabowo kembali ke Indonesia -  setelah dipecat dari satuan militer – dari pengasingannya di Yordania, Prabowo datang seolah – olah masyarakat melupakan kejahatan dan dosa – dosa kemanusiaan yang dilakukannya. Mirisnya, penjahat HAM ini justru kembali dan mengincar posisi Presiden di negara yang dulu dikhianatinya.
Jejak kejahatan Prabowo tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Korban kejahatannya masih ada,  bahkan 13 aktivis demokrasi yang diculiknya belum kembali hingga saat ini. Tetapi herannya, dengan bangga Gerindra menampilkan Prabowo sebagai sosok patriot. Relakah kita mengulangi konflik politik dan tragedi berdarah di Indonesia jika Prabowo terpilih sebagai Presiden? Tentu tidak. Oleh karena itu mari kita sebarkan aksi “Menolak Lupa Pada Prabowo” agar masyarakat tidak tertipu pada sosok Prabowo yang sesungguhnya.
Sumber: Satutimor.com/SUMBA

Sabtu, 10 Januari 2015

Traged Mesuji

Mesuji adalah kisah kerakusan korporasi, ketundukan pemerintah dan ignorance manusia modern. Sebab dari darah yang tumpah dan mengalir di kebun sawit, singkong dan karet, korporasi jadi kaya, kas pemerintah menggembung dan orang-orang Jakarta dan dunia selebihnya bisa menikmati minyak goreng yang jernih, bisa bermobil mewah dengan ban handal, bisa menikmati gemerlap kasino dan hingar bingar dunia gelap di tengah-tengah sejarah manusia modern abad ini.

   Dan apa yang kita saksikan di Mesuji, merupakan miniatur rangkaian cuplikan dan adegan kepedihan, ketidakberdayaan dan cucuran air mata orang-orang tertindas dan tak berdaya di Republik ini. Mesuji adalah cerita keburukan, seburuk apapun yang kita vulgarkan. Mesuji adalah cermin budaya kekerasan, barbarisme dan kemiskinan yang kemudian menyoal keberadaan kita mengenai hidup, manusia dan kemanusiaan.


Penyebab Terjadinya Tragedi Mesuji

Kasus Mesuji memang agak rumit dan unik. Rumit karena sebenarnya sudah sering terjadi di berbagai daerah (yang termasuk baru di Papua dan Bima) berkaitan dengan kepemilikan tanah dan pengelolaannya yang sering berakhir ricuh. Tepatnya menjadi problem. Sebabnya, seringkali ada dua versi dalam memandang persoalan kepemilikan tanah dan statusnya. Versi pemerintah yang seringkali dijadikan pegangan oleh pengelola sebuah usaha, dengan versi rakyat yang bersandar kepada tanah ulayat. Umumnya hal ini terjadi di daerah pedalaman atau wilayah hutan. Tidak jelasnya status kepemilikan tanah dan pengelolaan ini berpotensi rawan konflik.

1. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dinilai karena pengkhianatan pemerintah pada Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, Kamis (22/12) mengatakan sejak Orde Baru semangat UU Pokok Agraria dihabisi.

Pemerintah kemudian menerbitkan sejumlah paket undang-undang yang memihak kepentingan pemodal besar dan sistem kapitalisme. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang terus berlanjut dengan penerbitan undang-undang lain dengan nafas serupa hingga era reformasi.  
Pada era Orde Baru, penerbitan undang-undang itu lantas dipadukan dengan program transmigrasi dan Perkebunan Inti Rakyat dengan skema lahan inti dan plasma bagi masyarakat, kata Henry yang juga Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina).
Skema tersebut, imbuh Henry, tidak kunjung berjalan di banyak tempat hingga tahun 1980an. Pada sejumlah daerah hal itu justru menjadi konflik karena PIR yang bisa diperdagangkan sebagian kalangan pejabat.

2. Penyebab terjadinya aksi kekerasan yang disinyalir memakan korban sebanyak 30 orang warga sipil. Aksi kekerasan di sana ternyata dipicu oleh pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Silva Inhutani.   


3. Perusahaan tersebut terletak di Ogan Komering Ilir (OKI), Mesuji, daerah perbatasan Lampung dan Sumsel.  















5 Fakta Tragedi Yang Terungkap ,yaitu :

1. Pertama, kejadian itu terjadi pada tiga lokasi, baik di Register 45, Desa Sri Tanjung (Mesuji-Lampung), dan Desa Sodong (Kecamatan Mesuji-Sumatera Selatan), dan ditemukan sengketa lahan antara warga dengan perusahaan, meskipun dengan rincian persoalan yang berbeda-beda.


2. Kedua, sengketa lahan sudah terjadi dalam proses yang cukup lama, yang salah satu titik kejadiannya muncul dalam bentuk korban jiwa, korban luka, dan beberapa kerugian materiil di tiga lokasi itu.

3. Ketiga, utamanya pada dua tempat di Lampung, yaitu di Register 45 dan Sri Tanjung, jatuhnya korban jiwa perlu pendalaman lebih jauh dan tim akan berkoordinasi penuh dengan Komnas HAM terkait dengan persoalan HAM.

4. Keempat, kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah, ada dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, serta aparat keamanan dengan tingkat detil keterlibatan yang berbeda-beda di masing-masing setiap lokasi.

5. Kelima, jumlah korban jiwa yang meninggal akibat bentrokan di tiga lokasi tersebut untuk periode 2010-2011 adalah sembilan orang, masing-masing satu orang di Register 45, satu orang di Sri Tanjung, dan tujuh orang di Sodong

5 Tersangka Kasus Mesuji

1. Pertama, Heri Supriansyah (26), ditahan sejak 25 April 2011. Heri mengeroyok Saktu Macan dan menggorok leher Indra Syafei. Dia didakwa melanggar Pasal 338, Pasal 55 KUHP ayat 1 kesatu KUHP subsider Pasal 170 ayat 1 dan 2 ketiga KUHP.

2. Kedua, Muhamad Idrus (23), ditahan sejak 28 April 2011. Idrus memukul punggung Saktu Macan dengan kayu. Dia didakwa melanggar Pasal 338, Pasal 55 KUHP ayat 1 kesatu KUHP subsider Pasal 170 ayat 1 dan 2 ketiga KUHP.


3. Ketiga, Supriyanto (22), ditahan sejak 28 April 2011. Supri memukul tubuh dan kaki Saktu Macan dengan kayu. Dia didakwa melanggar Pasal 338, Pasal 55 KUHP ayat 1 kesatu KUHP subsider Pasal 170 ayat 1 dan 2 ketiga KUHP.

4. Keempat, M Ridwan (28), ditahan sejak 28 April 2011. Ridwan memukul tubuh Indra Syafei dengan kayu. Ia didakwa melanggar Pasal 338, Pasal 55 KUHP ayat 1 kesatu KUHP subsider Pasal 170 ayat 1 dan 2 ketiga KUHP.

5. Kelima, Tarjo, ditahan sejak 28 April 2011. Tarjo memukul kepala Indra Syafei. Dia dikenai Pasal 338, Pasal 55 KUHP ayat 1 kesatu KUHP subsider Pasal 170 ayat 1 dan 2 ketiga KUHP.
 
diambil dari : http://rifkadodol.blogspot.com/2012/01/tragedi-mesuji.html

Slamet Gundul, Perampok Legendaris Indonesia

Slamet Gundul, Perampok Legendaris Indonesia

 
Jarang-jarang Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap buronan: hidup atau mati. Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse Polri di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar menangkap seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. "Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati." Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi musuh polisi nomor satu.
 
Namanya berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi julukannya yang top adalah Slamet Gundul. Dialah tersangka bos kawanan garong nasabah bank bersenjata api yang belasan kali menggegerkan berbagai kota di seantero Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah mati-matian mengejar buron itu. Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila tidak licin.
 
Ia beberapa kali lolos dari kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur dari halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan hakim. Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam keadaan terluka.
 
Slamet sendiri, yang sudah kena tembak di kedua bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda motor. Polda Jawa Tengah tentu saja gemas akibat lolosnya buron itu. Sebab, dalam setahun beroperasi di Semarang, komplotan Slamet bisa menjarah duit Rp 159,5 juta. Tahun 1989 komplotan itu merampas Rp 23 juta milik pedagang tembakau asal Kendal, Rp 40 juta uang juragan ikan, dan Rp 34 juta milik Universitas Islam Sultan Agung. Nasabah BCA cabang Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta.
 
Setelah kelompok "Kwini", Slamet agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi kejahatan dan hasil jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang nasabah bank. "Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank dengan sepeda motor, pura-pura jadi nasabah," kata Subagio dan Sugeng, anggota kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak. Dengan penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat sasaran, komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda motor. Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya di atas mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju. Setelah itu, barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan menghadang korban.
 
Modus ini diduga juga dilakukan komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat. Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan CV Bambu Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka tiba-tiba dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah sepeda motor. Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang bersepeda motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu beraksi, dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap mereka. Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya kabur. Tapi, di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu sentimeter di bawah mata kanannya.
 
Sebelum "main" di Semarang, pada 1987, reserse Jakarta memang beberapa kali menguber komplotan itu. Waktu itu rekor Slamet sudah merampok 11 kali nasabah bank. Pada Januari 1987, dua regu reserse Polda Meto Jaya mengepung rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu pintu rumah diketuk polisi, yang keluar cuma istrinya. Slamet sendiri, dengan menggenggam dua pistol Colt kaliber 32 dan 38 melompati tembok dua meter yang membatasi kamar mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah itu sudah ada dua anggota polisi yang menunggunya. Tapi polisi kalah cepat. Bagai koboi mabuk, ia menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos pagar puluhan petugas yang mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar sebuah Metromini yang sedang dicuci keneknya. Toh pada awal tahun itu juga polisi berhasil menjerat belut itu. Bersama dua anggota komplotannya, Jarot dan Sahut, ia dihadapkan ke meja hijau.
 
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun. Tapi, ketika petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan, mereka mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang bisa diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara sepeda motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan.
 
Menurut Sugeng dan Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil merekrut anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. "Slamet itu orangnya pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut kelompoknya," kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga karena merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru dilepas awal 1989. "Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya," ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. "Ia belum pernah membunuh korban-korbannya," kata Sugeng. Yang kejam itu, kata mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu. Slamet gundul saat ini sudah bebas. Diyakini ia sekarang bekerja untuk Tommy Winata menurut wawancara Tommy Winata dengan Majalah Gatra. 
 
diambil dari : http://www.ceritamu.com/cerita/kisah-tokoh-preman-legendaris-indonesia

Kusni Kasdut, Penjahat Legendaris Indonesia

Kusni Kasdut, Penjahat Legendaris Indonesia

Siapa yang tidak mengenal tokoh ini pada era 70 an, salah satu pejahat Legendaris, tertangkap dan di vonis hukuman mati atas segala perbuatannya…. Namun pada saat – saat akhir hayat nya ia bertobat dan dengan “tegar” menghadapi hukumannya.


Dalam keterasingannya di penjara dan jauh dari orang-orang yang dicintai, ternyata sisi agamis Kusni Kasdut tumbuh semakin dalam. Apalagi ketika dia di penjara dan sebelum dieksekusi mati, dia sempat berkenalan dengan seorang pemuka agama Katolik.
Setelah berkenalan dengan pemuka agama tersebut, akhirnya dia memutuskan menjadi pengikut setia. Kusni Kasdut dibaptis sebagai pemeluk Katolik dengan nama Ignatius Kusni Kasdut.


Saat menunggu hari eksekusi, dia menuangkan rasa cintanya terhadap agama yang telah dia anut dalam sebuah lukisan yang terbuat dari gedebog pohon pisang. Dalam lukisan tersebut, tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik. Dan sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Gerja Katederal Jakarta.
“Setelah lukisan gedebog pisang itu jadi, sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral, Jakarta. Beberapa hari setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati,” ujar pengurus Museum Katedral, Jakarta, Eduardus Suwito.
Saya mendapat tulisan mengenai saat – saat akhir hayatnya pada saat mau menghadapi regu tembak :
Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya.
Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim
eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni
Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik
dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami
Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang
terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya
orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan.
Kusni, kemudian, memeluk Ninik. “Saya sebenarnya sudah tobat
total sejak 1976,” katanya, seperti direkam seorang
pendengarnya. “Situasilah yang membuat ayah jadi begini.
Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada
Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain
menangis. “Diamlah,” lanjut ayahnya, “Ninik ‘kan sudah tahu,
ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat
bagi ayah. Maafkanlah ayah.” Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai
mengantuk.
Fact about Kusni Kasdut

Pada masanya Kusni kasdut adalah penjahat spesialis “barang antik” salah satunya yang paling spektakuler ia merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi (yang tentunya palsu), dia pada tanggal 31 Mei 1961 masuk ke Museum Nasional yang dikenal juga Gedung Gajah. Setelah melukai penjaga dia membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut.
Pernah membunuh dan merampok seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep yang dibawa oleh Kusni Kasdut.


Saat-saat terakhir Kusni Kasdut ini dijadikan ide untuk lagunya God Bless “Selamat Pagi Indonesia” di album “Cermin”. Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik Kompas yg jagoan menulis lirik lagu.
Awalnya Kusni kasdut adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
SUDARTO adalah penasehat hukum Kusni Kasdut mengatakan dalam pembelaanya : ”Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang,” dan ”Nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman”.


Kusni Kasdut pada saat sedang menunggu keputusan atas permohonan grasinya sempat melarikan diri kemudian dapat ditangkap kembali dan akhirnya menjalankan pidana matinya.
Kusni Kasdut sempat dijuluki “Robin Hood” Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi – bagikan kepada kaum miskin.
Tangan kanan Kusni Kasdut adalah Bir Ali, anak Cikini Kecil (sekarang ini letaknya di belakang Hotel Sofyan). Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia tewas dalam tembak menembak dengan polisi.
Ia menjalani hukuman matinya didepan regu tembak pada 16 Februari 1980.

diambil dari : http://reinhardjambi.wordpress.com/2008/04/13/penjahat-legendaris-indonesia-kusni-kasdut/

Tragedi Bintaro, Senin 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Api Terdahsyat di Indonesia

Misteri Tragedi Bintaro, Senin 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Api Terdahsyat di Indonesia

“Tragedi Bintaro” adalah peristiwa tabrakan ala “adu banteng” yang menggelegar oleh dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada Senin pagi, 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terdahsyat dan terburuk dalam sejarah perkereta-apian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.

Setiap kejadian adalah sebuah rentetan peristiwa, detik demi detik. Untuk itulah manusia diberikan akal agar dapat menyelidikinya secara keilmuan, agar peristiwa tragis itu tak terjadi lagi dan menjadikan segalanya menjadi lebih baik serta merubah keadaan untuk kedepannya…pertanyaannya adalah, maukah kita menjadi manusia yang lebih baik lagi?
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tiada pelindung bagi mereka, selain Dia.” (QS: Ar-Ra’d, ayat 11).
Mayat-mayat begelimpangan, sebagian dalam keadaan tidak utuh. Bau darah anyir memenuhi udara. Tubuh-tubuh yang lain terjepit di antara besi-besi, sebagian masih hidup namun sedang meregang nyawa.

 

Semoga semua korban dapat beristihahat dengan tenang, dan semoga tragedi ini tak akan terulang lagi, aamiin.
Tepat dihari ini, 19 Oktober 1987 di hari Senin pagi yang ramai, 25 tahun lalu.
Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro.
Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka.
Peristiwa itu merupakan yang terburuk setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September ditahun yang lebih awal 1968, yang menewaskan 116 orang.
Tabrakan pada tahun 1968 itu terjadi antara kereta api Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok
*****
Namun pada artikel kali ini, kita mencoba mengenang kembali (flashback) dimasa lalu pada tahun 1980-an, seconds from disaster di pagi hari tepatnya pada Senin tanggal 19 Oktober 1987.
Saat itu adalah detik-detik sebelum dua rangkaian kereta api ekonomi yang berjalan di kedua arah yang berbeda, namun keduanya hanya dalam satu jalur rel kereta api saja… dan akhirnya bertabrakan secara dahsyat!

Lokasi
Lokasi pada saat ini sat kecelakaan terjadi berada di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah Utara SMUN 86 Bintaro.
Tempat kejadian perkara berada di dekat tikungan yang melengkung (kini jalan tol) Bintaro, tepatnya di lengkungan berpola huruf “S”.
Berjarak kurang lebih 200 meter setelah palang pintu Pondok Betung atau ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara. Koordinat 6°15’39.9791”S 106°45’39.96”E (lihat peta lokasi)
Awal Mula Kesalahan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Saat itu, KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya Soleh, dan seorang kondektur, Syafei berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30317 dalam keadaaan sarat penumpang, yaitu sekitar 700 penumpang didalamnya.
Jenis Lokomotif nomer BB303 17 yang dipakai untuk menarik rangkaian kereta bernama KA.225 kelas Ekonomi, dari Merak ke Tanah Abang Jakarta, disaat Tragedi Bintaro 1987. (semboyan35.com)
KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dipimpin oleh masinis Amung Sunarya dengan asistennya Mujiono. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30617 ini bermuatan kurang lebih 500 penumpang, dan berada di jalur 2 Stasiun Kebayoran Lama.
Jenis Lokomotif nomer BB306 17 yang dipakai untuk menarik rangkaian kereta bernama KA.220 kelas Patas, dari Tanah Abang ke Rangkas Bitung, disaat Tragedi Bintaro 1987. (semboyan35.com)
Agar tak bingung, dibawah ini adalaqh urutan stasiun sepanjang trek sebelum bencana tersebut terjadi. Pada urutan trek masa sekarang, ada tiga stasiun baru yang pada masa lalu belum ada. Jika stasiun diurut dari arah Serpong ke arah Kebayoran pada masa kini, maka:
Rangkas Bitung –>Serpong – Rawa Buntu (stasiun baru) – Sudimara – Jurang Mangu (stasiun baru)Pondok Ranji (stasiun baru)lokasi tabrakan – Kebayoran … <– JakartaKota
Ringkasnya, posisi stasiun KA single trek pada masa lalu itu adalah:
Rangkas Bitung ->Serpong – Sudimara - lokasi tabrakan – Kebayoran … <- JakartaKota
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 Ekonomi (Rangkasbitung-Jakarta) ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Dari sini sudah terlihat KESALAHAN PROSEDUR kepala stasiun Serpong, karena tidak adanya komunikasi dan kordinasi dari Kepala Stasiun Serpong kepada Kepala Stasiun Sudimara.
Sehingga ketika KRD no. KA 225 (Rangkas-Jakarta) itu diberangkatkan dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, ternyata benar stasiun Sudimara yang hanya punya 3 jalur saat itu penuh dengan dua KA.
Maka Kepala Stasiun Sudimara pun lantas memerintahkan masinis KRD 225 dilansir masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasuin Sudimara:
  • Jalur 1: KA 225 (jalur lacu)
  • Jalur 2: KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga
  • Jalur 3: KA barang tanpa lokomotif
Memang menurut jadwal, seharusnya keduanya akan bersilang di stasiun Sudimara ini, dimana kalau tepat waktu, KA 225 seharusnya datang pukul 06.40 dan menunggu KA Cepat Patas 220 yang akan lewat pada pukul 06.49 di Stasiun Sudimara. Tapi kenyataannya, KA 225 ini terlambat 5 menit ketika sampai di Sudimara.
Alhasil semua jalur kereta di stasiun Sudimara akan tertutup rapat dan kereta lain tak bisa lewat. Karena penuh, maka kegiatan persilangan juga menjadi suatu yang mustahil.
Karena tak bisa, otomatis persilangan di Sudimara terpaksa dipindahkan lagi saja ke stasiun Kebayoran dengan menyuruh KA 225 jurusan Rangkas-Jakarta yang baru saja tiba dari Serpong dan kini ada di Sudimara dengan waktu yang terlambat itu, segera diberangkatkan ke stasiun Kebayoran.
Jadi pindah stasiun lagi untuk persilangan, yaitu ke stasiun Kebayoran. Namun karena kesalahan prosedur kali inilah, kemudian terjadi rentetan kesalahan prosedur yang akhirnya menyebabkan 139 orang tewas.
Sementara itu, ada kereta kedua KA 220 di stasiun Kebayoran dengan arah tujuan yang berlawanan, yaitu KA Patas yang tak berhenti (KA Cepat) bernomer KA 220 (Jakarta-Merak) yang arahnya berlawanan dengan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dan akan diberangkatkan dari Sudimara dan masuk ke stasiun Kebayoran.
Kembali ke stasiun Sudimara yang jalur keretanya penuh, dimana KA 225 sedang berada dan tak mungkin dilakukan persilangan/berpapasan, maka kemudian diberangkatkanlah KA 225 dari stasiun Sudimara ke stasiun Kebayoran agar dapat bersilang/papasan di stasiun Kebayoran.
Semboyan keberangkatan pun ditiup oleh kepala stasiun Sudimara, lalu KA 225 yang ada dijalur 1 Sudimara dan penuh penumpang tersebut, berangkat menuju stasiun Kebayoran….
Kembali lagi kita ke stasiun Kebayoran , disaat yang sama kereta cepat (KA Patas Jakarta-Merak) baru datang dan tak ada prosedur memberhentian tunggu karena KA Cepat tidak berhenti lama, maka tak lama kemudian KA Patas 220 (Jakarta-Merak) juga langsung diberangkatkan dari Kebayoran ke stasiun Sudimara dimana pada saat yang sama KA 225 sedang jalan menuju stasiun Kebayoran dalam satu jalur rel!!
Anehnya, padahal sebelum dilakukan persilangan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dari stasiun Sudimara (yang penuh) ke stasiun Kebayoran, sudah dilakukan kontak telepon oleh Kepala Stasiun Sudimara kepada Kepala Stasiun Kebayoran untuk meminta izin.
Pertanyaanya sekarang, mengapa kepala stasiun Kebayoran dengan “gila” telah melepas keberangkatan KA Patas 220 dari stasiun Kebayoran untuk berangkat ke stasiun Sudimara?
Rentetan Kesalahan Prosedur Yang Fatal
Mari kita ulangi kejadiannya lagi. Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin dulu ke Kebayoran, dan setelah diijinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.
Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. PPKA malah membuat PTP dan memberikannya hanya ke masinis, setelah itu baru menelpon meminta ijin ke Kebayoran, waduhhh! Dan sangat disayangkan, oleh PPKA Kebayoran waktu itu malah menjawab “Gampang, nanti diatur!”
Namun sesaat setelah itu, terjadi pula pergantian petugas PPKA Kebayoran. Padahal PPKA pengganti ini telah diberitahu oleh pendahulunya, bahwa di stasiun Sudimara ada dua KA yang belum masuk, termasuk KA 225. Pada saat itu, KA 220 sudah ada di Kebayoran dan siap berangkat.
Sementara itu di Sudimara, PPKA menyuruh juru langsir untuk melakukan tugasnya. Seharusnya pada saat itu, masinis harus memberikan laporan T-83 ke PPKA dan memberitahu rencana langsiran ke masinis KA 225.
Stasiun KA Kebayoran lama
Tapi entah kenapa, kereta KA 225 tiba-tiba langsung tancap gas dan melesat ke Kebayoran, tanpa ijin dari PPKA. Bahkan Kondekturnya juga tidak sempat naik! Karena kewalahan, juru langsir langsung melapor ke PPKA.
Benar saja, selang 5 menit kemudian, Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi, Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA nomer 220 jurusan JakartaKota-Tanahabang-Merak sudah berangkat dan sedang melaju menuju Sudimara.
Seketika, dua petugas PPKA Sudimara, mengejar KA 225 yang baru diberangkatkan dari Sudimara ke Kebayoran dengan berlari mengejar kereta KA 225 tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Mereka berdua terus menggoyangkan sinyal secara bergantian untuk menghentikan KA 225 tapi sia-sia.
Salah satu petugas PPKA Sudimara, Djamhari, tak patah arang, dia kejar lagi KA tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Tapi inipun juga gagal, karena kecepatan KA di atas 50 km/jam maka tidak mampu dikejar. Hingga ada juga petugas yang naik motor mengejar KA225, namun lalu lintas yang padat saat jam berangkat kantor, maka usaha terakhir ini pun juga sia-sia.
Djamhari melihat dari jauh KA 225 terus melaju semakin kencang ke arah stasiun Kebayoran, pengejarannya pun tetap sia-sia. Seketika ia menangis karena kaget, syok dan lelah, Djamhari pun sempat pingsan ditempat, dan setelah sadar ke stasiun Sudimara, dia pingsan lagi.
Pada saat yang sama, KA Patas 220 yang telah diberangkatkan dari Kebayoran juga terus melaju berangkat dari Kebayoran menuju Sudimara untuk menjemput maut…
Perjalanan Menuju Maut
Ngeri rasanya jika dibayangkan, hanya satu jalur KA antara kedua stasiun tapi diisi oleh dua kereta yang berjalan pada arah yang berlawanan, dengan kecepatan penuh!
Dua kereta api yang sama-sama sarat dengan penumpang, namun seluruhnya tak mengetahui keadaan genting ini, akhirnya pada Senin pagi itu dua KA dengan kecepatan penuh melaju bersama dengan arah saling berlawanan yang pada saat itu hanya ada satu fasilitas jalur rel.
Ditambah, jalur rel di KM 17+252 terdapat tikungan zig-zag yang berbentuk “S” berjarak pendek, tapi dikelilingi pepohonan yang rimbun. Disini sudut pandang cukup terbatas, kedua masinis sama-sama tak dapat melihat dan kedua kereta bertemu secara tiba-tiba.
Dalam keadaan mendadak, tiba-tiba kereta dari arah berlawanan muncul, para masinisnya panik dan tidak sempat mengerem, dan jika dilakukan pun akan percuma, apa yang bisa dilakukan hanyalah meloncat keluar!
Akhirnya tabrakan tak dapat lagi dihindari, kedua KA “bertabrakan muka” di lokasi ± Km 18.75 . Benturannya sedemikian dashyatnya, hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.
Efek teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam rongsokan kereta.
Jika prosedur dilakukan, maka KA 220 Patas (KA Cepat) yang akan melintas di stasiun Kebayoran secara normal, justru yang harus berhenti menunggu karena stasiun Sudimara penuh, KA 220 yang justru harus mengalah dan berhenti di stasiun Kebayoran untuk menunggu, hingga KA 225 sampai tiba di Kebayoran dan berpapasan di stasiun Kebayoran tersebut dengan KA 220.
Dampak Tragedi
Akibat tragedi tersebut, masinis KA Patas 220 Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
slamet tragedi bintaro
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Seorang mantan pengatur sinyal kereta api yang juga dinyatakan bersalah kini menapaki masa tua dengan penuh penantian.
Meskipun telah melalui banding, ia diputuskan tidak bersalah, hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun.
Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk mengenang masa lalu dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.
Kejadian ini sempat ramai diberitakan di berbagai media massa, dan sangat mengejutkan masyarakat. Walaupun kecelakaan kereta api sudah sering terjadi di dekade 1980-an, tapi baru kali ini sampai separah ini.
Namun PJKA tidak tinggal diam. Beberapa operasi penertiban segera dilaksanakan. Hal ini perlu, mengingat KA di jalur sekitar Tanahabang memang dari dulu terkenal karena ketidak-tertibannya. Entah karena banyaknya penumpang di lokomotif maupun di atap, ataupun karena banyak penumpang yang tidak membayar dan suka menghajar kondektur.
film Tragedi Bintaro
Dan pada saat kejadian, lokomotif KA 225 memang dipenuhi penumpang gelap, sebagian bergelantungan di luar.
Selain itu beberapa peningkatan prasarana juga dilakukan untuk pencegahan. Seperti pemasangan radio di lokomotif (pada waktu kejadian, sedikit lokomotif di Indonesia yang punya radio).
Selain itu di antara stasiun Kebayoran dan Sudimara kemudian dibangun stasiun baru, Pondok Ranji lalu disusul stasiun Jurang Mangu. Sistem persinyalan di jalur ini kemudian dirubah dari mekanik menjadi elektrik.
Namun, efek terbesar dari kejadian ini adalah pembangunan double track besar-besaran untuk mencegah tabrakan muka terjadi lagi. Ironisnya, program ini baru terlaksana hampir dua dekade kemudian dan akhirnya jalur ganda ini selesai pada tahun 2007. Andai proyek jalur ganda ini selesai 20 tahun lebih awal…
Kisah memilukan ini sempat diabadikan ke dalam sebuah filem dengan judul yang sama “Tragedi Bintaro”, untuk mengenang para korban dan berharap agar peristiwa ini tak terulang lagi, aamin. Berikut cupikannya, untuk film utuhnya bisa anda saksikan dibawah halaman ini atau klik disini: Cuplikan Film “Tragedi Bintaro”
Selain itu, penyanyi dan pencipta lagu terkenal Iwan Fals yang pada masa orde baru sempat dipidana karena lirik lagunya dan masuk bui, juga ikut mengabadikan peristiwa Tragedi Bintaro yang tragis ini dalam sebuah lagu yang berjudul 1910, berikut liriknya:
Apa kabar kereta yang terkapar di senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata… air mata…
Belum usai peluit belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi catatan sejarah
Air mata… air mata…
Berdarahkan tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa aku bosan
Lalu terangkat semua beban dipundak
Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara, tangismu terdengar lagi
Nusantara, derita bila terhenti
Bilakah… bilakah…
Sembilan belas oktober tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata… air mata…
Oooh…
Nusantara langitmu saksi kelabu
Nusantara terdengar lagi tangismu
Ho.. ho… ho…
Nusantara kau simpan kisah kereta
Nusantara kabarkan marah sang duka
Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang (klip video youtube – Iwan Fals 1910)
Kecelakaan ini juga menyisakan beberapa teka-teki hingga saat ini. Apa sesungguhnya yang menyebabkan masinis KA 225 berjalan tanpa ijin?
Dan setelah kejadian itu, kereta krane yang dijuluki “Si Bongkok”, yang dipakai untuk menolong, sempat mengalami anjlok dalam perjalanan kembali ke stasiun Manggarai.
Hingga saat ini perintah keberangkatan KA 225 yang diberikan PPKA Sudimara masih menjadi perdebatan, apakah akibat semboyan yang diberikan pak Djamhari (PPKA SDM saat itu) adalah semboyan 40 ataukah semboyan 46.

Kereta krane yang dijuluki “Si Bongkok”, yang pernah dipakai untuk menolong Tragedi Bintaro 1987 sempat anjlok di stasiun Manggarai.
Penyelidikan Menurut Saksi Mata dan Terdakwa
Dari hasil laporan terhadap beberapa petugas, di Stasiun Sudimara, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh dengan KA. Mengetahui hal tersebut, Djamhari selaku kepala PPKA ( Pengatur Perjalanan Kereta Api ) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi / Umrihadi menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.
Mau tak mau, Djamhari kemudian mengosongkan jalur 2 (KA Indocement) untuk menampung KA 220 Patas yang telah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama setelah mendapat izin dari Kepala PPKA dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1.
Djambhari kemudian memerintahkan Juru Langsir untuk memberi tahu masinis jika KA 225 hendak dipindah ke jalur 1. Juru Langsir kemudian memberi peringatan kepada masinis dan penumpang dengan mengibaskan Bendera Merah dan meniup peluit Semboyan 46 ( tanda kepada masinis dan penumpang jika kereta akan dilangsir )tanpa membatalkan perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada masinis KA 225.
Masinis KA 225 mendengar bunyi peluit Juru Langsir, namun ia tidak dapat memastikan apakah itu bunyi semboyan 46 atau semboyan 40 (tanda ketika petugas peron memberi sinyal hijau kepada kondektur KA, artinya jalur telah aman untuk dilalui).
Karena kondisi kereta yang penuh sesak, masinis pun menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar lokomotif, dan orang tersebut menjawab jika sudah waktunya kereta berangkat yaitu Semboyan 40 tanpa memastikan kembali.
Maka masinis membalas membunyikan Semboyan 41 (tanda yang dibunyikan oleh masinis dan kondektur sebagai respon atas dimengertinya semboyan 40 yang telah diisyaratkan oleh Kepala Stasiun), disusul kemudian dibunyikannya semboyan 35 (masinis membuyikan klakson sebagai tanda kereta akan berangkat).
Padahal sang Masinis tidak tahu jika semboyan 40 belum diberikan oleh Kepala PPKA, yang diberikan hanyalah Semboyan 46 (kereta harus langsir) dan sang masinis KA 225 langsung memberangkatkan kereta, hanya karena jawaban seseorang yang mengatakan jika kereta telah siap untuk berangkat.
Pada pukul 07.00 WIB, KA 225 berangkat tanpa ijin dari Kepala PPKA. Para petugas di Stasiun Sudimara dan Kepala PPKA langsung panik saat mengetahui KA 225 telah berangkat tanpa ijin, apalagi setelah Djamhari dihubungi oleh Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama jika KA 220 Patas juga telah berangkat menuju Sudimara.
Juru Langsir kemudian langsung mengejar KA 225 dan berhasil naik gerbong paling belakang, namun sayangnya ia tidak dapat memberi tahu sang masinis karena penuhnya penumpang. Maka tragedi tak dapat dihindari. Begitulah versi dan alibi serta kesaksian dari para petugas di tempat kejadian tentang penyebab tragedi ini.
Kamus Kecil:
  • Semboyan 35: Ketika Masinis membunyikan Horn (Klakson) KA, sebagai Tanda KA akan diberangkatkan.
  • Semboyan 40: Ketika Petugas Peron memberikan Sinyal Hijau kepada Kondektur KA, tanda jalur telah aman untuk dilalui.
  • Semboyan 41: Ketika Kondektur membunyikan Peluit sebagai respon atas dimengertinya Semboyan 40 yang telah diberikan.
  • Semboyan 46: Ketika Juru Langsir meniup peluit dan mengibaskan Bendera Merah, sebagai tanda kepada masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilangsir.

Nasib Sang Masinis Tragedi Bintaro
Purworejo – Kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987 yang menewaskan ratusan penumpang tidak hanya menjadi tragedi bagi mereka yang ditinggalkan. Ini juga sebuah tragedi besar bagi Slamet Suradio yang kala itu jadi masinis kereta nahas itu. Slamet menjadi terpidana dan dipenjara selama tiga tahun lebih. Pemeriksaan yang dialaminya pun penuh kekerasan.
Sejak itu, jalan hidup Slamet, warga Krajan, Desa Gintungan, Purworejo, Jawa Tengah, ini berbalik arah.. Selain dipenjara, lelaki empat anak ini dipecat dengan tidak hormat yang membuat ia kehilangan hak pensiunnya.
Keluar dari bui, untuk menghidupi istri dan anaknya, pria 71 tahun ini berdagang asongan dengan pendapatan Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per hari.
Kenangan saat jadi masinis membuatnya terkadang ingin mengenakan kembali baju kebanggaannya, seragam pegawai PT Kereta Api. Baju yang sudah berumur puluhan tahun itu masih terawat dan bersih. Kartu kepegawaian pun masih disimpannya. Slamet pasrah dengan jalan hidupnya. Hanya saja kalau bisa meminta ia ingin mendapat hak pensiunnya karena dia merasa pernah jadi pegawai negeri.
Slamet bintaro dan istri
Munculnya kisah Slamet Suradio (71) mantan masinis kereta yang mengalami tragedi kecelakaan Bintaro 1987 tersebut ini, dalam pemberitaan di beberapa media pekan lalu membuat kakek tua warga RT 02 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo ini mendadak tenar.
Apalagi setelah Mbah Slamet Bintaro, sapaan akrabnya di daerah tempat tinggalnya, tampil dalam sebuah acara televisi swasta, kisah nestapanya menggugah empati banyak orang.
Beberapa dermawan akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantu laki-laki yang saat menjalani hukuman penjara di LP Cipinang istrinya direbut orang itu.
Di dunia maya, nama Mbah Slamet pun tiba-tiba moncer. Di situs jejaring sosial Facebook juga muncul empati dari facebuker (pengguna Facebook) yang membuat grup “Dukung Mbah Slamet Memperjuangkan Uang Pensiunnya”.
Dalam group tersebut, banyak diupload pemberitaan dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang mengupas mengenai kisah- kisah kehidupan Mbah Slamet setelah menjalani hukuman akibat diputus bersalah dalam tragedi Bintaro.
Kisah sedih Mbah Slamet juga mampu menggugah rasa iba di kalangan para pengguna situs Kaskus. Di situs tersebut juga muncul seruan untuk mendukung Mbah Slamet untuk memperjuangkan uang pensiuannya. Bahkan beberapa orang menawarkan ide menggalang donasi untuk membantu mantan masinis malang ini.
Slamet masinis Tragedi Bintaro
Layaknya seorang selebriti, ketenaran mendadak itupun ternyata juga meminta “tumbal”. Mungkin bagi Anda sebuah lapak tempat jualan itu menjadi barang yang tidak berharga.
Tapi tidak bagi Mbah Slamet yang hanya memiliki penghasilan Rp 5.000 per hari dari pekerjaanya sebagai pengasong rokok dan tukang kayu.
Lapak tempat dia jualan di perempatan BRI Kutoarjo diambil paksa oleh pemiliknya. Tampilnya Mbah Slamet dalam pemberitaan media dianggap pemilik lapak itu sebagai bukti Mbah Slamet sudah mendapatkan uang pensiun.
“Dikira uang pensiuan saya sudah turun. Keluarga saya memang punya hutang sama orang yang meminjami saya lapak. Hutangnya 5 gram emas dan dijual dulu untuk mengurus pensiuan. Terus saya ditagih hutang. Saya jelaskan uang pensiun belum turun, dia tidak percaya. Akhirnya tempat jualan rokok itu diambil paksa,” keluh Mbah Slamet dengan tertawa polos saat ditemui di sela-sela dia membuat lapak baru di rumahnya, Rabu (13/10/2011).
Apes betul, ketenarannya itu juga membuat orang-orang yang dulu disambati Mbah Slamet menganggap kehidupan suami dari Tuginem (45) ini sudah mapan dan hidup layak. Padahal itu berbanding terbalik. Belum ada perubahan yang mencolok. Blandar rumahnya juga tetap keropos, bahkan dikhawatirkan bisa ambruk.
“Memang karena berita-berita kemarin, ada beberapa orang yang baik hati memberi bantuan. Tapi itu digunakan istri saya untuk memperbaiki rangka atap rumah. Kalau dibiarkan rumah bisa roboh dan menimpa keluarga kami kan bisa celaka semuanya,” katanya.
Slamet Suradio mantan masinis KA Cepat 220 Jurusan Tanahabang – Merak, saat Tragedi Bintaro.
Paiman (51), warga Tegal Kutoarjo yang juga masih saudara dengan Mbah Slamet tadi datang untuk memastikan keselamatan Mbah Slamet.
Sebab dia mendengar kabar lapak Mbah Slamet sempat akan dibakar setelah dia menyatakan benar-benar belum mendapat uang pensiun. “Saya kasihan, makanya untuk memastikan kondisinya saya datang kesini,” katanya, tadi.
Paiman menegaskan, hingga hari ini uang pensiun Mbah Slamet benar-benar belum turun. Oleh karena itu, dia berharap ada orang atau lembaga bantuan hukum yang secara sosial bersedia membantu Mbah Slamet untuk bisa memper-juangkan uang pensiuannya.
Lagi-lagi karena uang pensiun itulah yang menjadi harapan Mbah Slamet yang kini usianya sudah semakin udzur.
Timbul pertanyaan, kenapa selalu masinis yang dipersalahkan dalam setiap kasus tabrakan? Apakah ada yang salah dengan hukum dan keadilan di negeri ini? Apa ada “main-main” di dalam tubuh PT. KAI sendiri? atau ada hal lain?
Masinis hanyalah manusia atau karyawan rendahan PNS yang menjalankan perintah sesuai semboyan perkereta-apian yang diberikan dari atasannya. Justru jika ia tak melaksanakannya, barulah ia melanggar perintah yang telah diberikan kepadanya.

diambil dari : https://indocropcircles.wordpress.com/2012/10/17/25-tahun-tragedi-bintaro-senin-19-oktober-1987-2012/

Jumat, 09 Januari 2015

Misteri Kasus Pembunuhan Udin (1996)

Misteri Kasus Pembunuhan Udin (1996)

Fuad Muhammad Safrudin atau dikenal dengan panggilan Udin, adalah seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada Selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang kemudian menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996 Udin harus mengembuskan nafas terakhirnya.
Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Kasus Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan.
Kasus Udin menjadi gelap akibat hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus kematian sang wartawan dan juga terdapat beberapa orang yang dikambing-hitamkan atas peristiwa kematian Udin.
Seorang wanita bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari dengan imbalan sejumlah uang untuk membuat pengakuan bahwa ia dan Udin telah melakukan hubungan gelap dan suaminyalah yang telah membunuh Udin.
Lalu Dwi Sumaji alias Iwik seorang supir dari Dymas Advertising Sleman diculik di perempatan Beran Sleman lalu dibawa ke Hotel Queen of the South Parangtritis dan dipaksa oleh Serka Edy Wuryanto yang memiliki nama panggilan Franky agar mengaku sebagai pembunuh Udin.

wartawan Udin

Sebelumnya di sebuah losmen bernama Losmen Agung yang juga berada di parangtritis Iwik dicekoki berbotol-botol minuman keras hingga mabuk dan disuguhi wanita penghibur dan diberi janji uang, pekerjaan yang layak serta jaminan hidup buat keluarganya dimana sebelumnya ia dijebak oleh Edy Wuryanto dengan dalih pembicaraan bisnis Billboard.
Di pengadilan Iwik mencabut seluruh “pengakuan” dirinya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi karena ia sebagai korban rekayasa dan berada dibawah ancaman, tekanan dan paksaan oleh Kanit Reserse Polres Bantul Serka Edy Wuryanto.
Komnas HAM mengadakan investigasi lapangan dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia namun tetap saja Iwik dijadikan sebagai tersangka utama oleh Polisi dan diajukan ke persidangan, walau penuh teror dari berbagai pihak akhirnya Iwik divonis bebas oleh majelis hakim dan motif perselingkuhan yang selama ini dihembuskan secara otomatis gugur, selain itu majelis hakim memerintahkan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya.
Dalam kesaksiannya di persidangan Iwik menyatakan bahwa dirinya selain menjadi korban rekayasa dan bisnis politik, ia hanya dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo.
Namun hingga kini para pelaku kejahatan pembunuhan terhadap sang wartawan yang kritis tersebut tidak ada yang ditangkap atau diadili ke meja hukum.

diambil dari : https://indocropcircles.wordpress.com/2014/06/13/8-kasus-pembunuhan-paling-misterius-belum-terkuak-di-indonesia/

Kerusuhan Tasikmalaya ( 1996)

Kronologi kerusuhan Tasikmalaya ( 1996)



Kamis, 19 Desember 1996
Adalah seorang santri bernama Rizal, berusia 15 tahun. Si Rizal ini adalah santri tidak mondok alias santri kalong di Condong. Dia dihukum oleh Ustadz Habib karena kedapatan mengutil dan mencuri barang-barang milik santri lainnya sampai seharga Rp 130 ribu. Hukumannya berupa direndam selutut di empang pesantren. Ini adalah hukuman yang biasa dilakukan di pondok pesantren itu. Dan hukuman ini sudah seijin KH Makmun selaku pimpinan pesantren.(Lihat Catatan: Sebuah Pesantren yang Berbaur dengan Masyarakat)
Rupanya, Rizal langsung melaporkan kejadian ini kepada ayahnya, Kopral Nursamsi. Anggota Sabhara Polres Tasikmalaya ini langsung mendatangi Condong pada hari itu juga. Setelah Nursamsi menerima penjelasan KH Makmun dan Ustadz Mahmud Farid, 38 tahun, pihak Pondok Condong merasa urusan ini sudah selesai.

Jumat, 20 Desember 1996
Entah mengapa datang surat pemanggilan untuk Habib Hamdani Ali, 26 tahun, dan Ihsan, 25 tahun, dari Polres Tasikmalaya. Surat itu ditandatangani oleh perwira jaga dan bukan oleh Kapolres Tasikmalaya Letkol Suherman.

Sabtu, 21 Desember 1996
Ustadz Mahmud bersama KH Makmun datang ke Polres Tasikmalaya memenuhi panggilan polisi. Namun, kedatangan kedua tokoh Condong ini tanpa kehadiran Habib. Maka, pihak Polres meminta Habib untuk memenuhi panggilan kedua pada hari Senin tanggal 23 Desember 1996.

Senin, 23 Desember 1996
Habib Hamdani Ali tiba pukul 8.30 pagi di Polres Tasikmalaya. Dia didampingi dua santri lainnya yaitu Ihsan dan Ate Musodiq. Ikut juga Ustadz Mahmud Farid. Mereka datang memenuhi panggilan polisi pada hari Sabtu. Mereka disambut empat petugas jaga.
Tiba-tiba, Kopral Nursamsi begitu melihat Habib langsung menjambak rambut santri itu dan langsung memberinya pukulan. Entah mengapa, keempat petugas jaga lainnya juga ikut menghajar dan menendang Habib. Melihat hal ini, Ustadz Mahmud berusaha melerai dengan menghalangi empat polisi -- Nursamsi, Serda Agus M, Serda Agus Y, Serda Dedi -- yang tengah membabibuta itu. Dia ingin melindungi Habib.
Namun Mahmud malah menjadi bulan-bulanan polisi yang sudah lepas kontrol itu. Belum puas menghajar, polisi-polisi tadi beralih menghajar Ihsan, yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah.
Santri Ate, begitu melihat penyiksaan terhadap ustadz dan rekan-rekannya langsung kabur dari polres dan melapor kepada pimpinan pesantren, KH Makmun. Tanpa menunggu lama, ayah Ustadz Mahmud ini segera melaporkan penganiayaan atas anaknya kepada Wakil Bupati Tasikmalaya, Oesman Roesman. Dan Roeman segera memerintahkan Kepala Dinas Sosial Politik Kabupaten Tasikmalaya untuk meluncur ke Polres Tasikmalaya.

Menjelang dhuhur penyiksaan baru dihentikan, tepatnya ketika utusan Pemda Tasikmalaya tiba di Polres Tasikmalaya. Ustadz Mahmud yang sudah babak belur segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. "Saya ditendang dan dipukuli di ruang pemeriksaan dan tahanan, sembari disuruh push-up. Dan yang menyakitkan, ada seorang petugas memaki-maki saya dengan kata-kata kasar," tutur Ustadz Mahmud Farid kepada TEMPO Interaktif, Senin 30 Desember 1996, di Pondok Pesantren Condong.(Lihat Wawancara: Dua Ustadz yang Dianiaya Itu Bicara)

Ustadz Mahmud hanya bertahan tiga jam di rumah sakit. Karena, rumah sakit seperti "dikepung" santri dan masyarakat Tasikmalaya yang terus berjubel dan ingin melihat kondisi Mahmud. Atas saran keluarga, Ustadz Mahmud pulang ke rumah diantar orang tua dan puluhan santri. Hari sudah sore, sekitar pukul 16.00.
Sorenya, sekitar pukul 17.00, Kapolres Letkol Suherman didampingi Muspida Tasikmalaya berkunjung sekaligus bersilahturahmi dengan pimpinan pondok. Dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan pihak pesantren tak akan menggugat polisi yang menyiksa pengasuh Condong. Kapolres pun meminta maaf atas perbuatan anak buahnya dan segera akan menindak oknum polisi tersebut. Selain itu, pihak Polres akan menanggung seluruh biaya pengobatan.
Sejak Mahmud Farid pulang ke rumah, di masyarakat dan kalangan pesatren berkembang isu bahwa Mahmud dikabarkan meninggal dianiaya polisi. Bahkan, Kiai Makmun pun digosipkan telah meninggal dunia. Dan kata kabar angin itu, saat pengasuh dan santri Condong digebuki di Polres Tasikmalaya, terdengar ada kata-kata penghinaan dan pelecehan terhadap pemuka agama itu.
Bahkan, seorang pemilik warung di terminal Tasikmalaya pada TEMPO Interaktif mengaku mendengar bahwa Ajeungan Mahmud diserang dengan kata-kata "PKI". Tapi, Kepala Penerangan Kodam Siliwangi, Letkol Herman Ibrahim tak yakin benar bahwa ada tuduhan "PKI" terlontar di Polres Tasikmalaya. "Ada baiknya kita tunggu berita acara pemeriksaan," jelas Letkol Ibrahim.
Walhasil, isu pelecehan dan penghinaan serta kabar angin meninggalnya Ustadz Mahmud meluas hingga ke luar Tasikmalaya. Akibatnya, banyak "simpatisan" yang datang ke Tasikmalaya untuk mengkonfirmasikan berita ini. Memang kebetulan ada seorang "Mahmud" yang meninggal, yakni seorang tukang kayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu.

 
Kamis, 26 Desember 1996
Isu meninggalnya Ustadz Mahmud terus meluas. Maka pagi hari itu, sekitar pukul 10.00, ribuan orang berkumpul di Masjid Agung Tasikmalaya, Jalan H.Z. Mustofa, untuk melakukan doa bersama. Di tengah ribuan massa yang terus bertambah, Komandan Korem 062 Tarumanegara, Kolonel M. Yasin, menjelaskan bahwa oknum-oknum polisi yang menganiaya Ustadz Mahmud beserta dua santrinya sudah ditangani oleh Detasemen Polisi Militer.
Ketika ribuan orang berada di masjid, ribuan yang lain diam-diam mulai bergerak ke arah Markas Polres di Jalan Yudanegara, yang berjarak sekitar 500 meter dari masjid agung. Massa menuntut agar Kapolres meminta maaf secara terbuka. Bupati dan Kapolres yang tengah berada di Mapolres berusaha menenangkan massa yang kian tak sabar, sembari meneriakkan takbir. Aparat keamanan berbaju hijau yang telah siaga berusaha menghalau massa agar tidak merusak markas Polres Tasikmalaya itu.
Sementara itu, massa di masjid agung akhirnya terpecah-pecah. Sebagian mulai bergerak ke arah Jalan H.Z. Mustofa dan mulai melakukan perusakan dan pembakaran. Dua departmen store besar, Matahari dan Yogya, adalah bangunan pertama yang dihajar massa dengan batu dan kemudian dibakar.
Dari Jalan H.Z. Mustofa, massa mulai menyebar ke arah Barat. Yang lainnya menuju arah Timur dan massa inilah yang membakar Gereja Katolik Salib Suci. Sementara nasib gereja lainnya yang berada di Jalan Salakaso, Cipatujah, Veteran, dan Wiratuningrat, akhirnya mengalami nasib serupa. Gereja-gereja itu dibakar dan dirusak.
Aparat keamanan yang berasal dari Batalyon 330 Bandung, Batalyon 323 Majalengka, Batalyon 301 Sumedang, serta dari Kostrad dan Arhanud, segera menghalau massa ke luar kota Tasikmalaya. Walau sudah mengerahkan sekitar 800 personil, namun pembakaran dan pengrusakan masih terus berlanjut. Bahkan kerusuhan meluas hingga Ciawi yang berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Masjid Agung Tasikmalaya. Massa yang sudah menyusut, ditaksir berjumlah lima ribu orang, masih merusak dan membakar tiga pabrik, sejumlah toko, serta membakar mobil yang diyakini milik warga non pribumi.
Kejadian serupa juga terjadi di Kawasan Sawalu yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Selain toko dan kendaraan, beberapa mapolsek dan pos polisi dirusak massa. Aksi perusakan dan pembakaran di luar kota Tasikmalaya berlangsung hingga Jumat dinihari, 27 Desember 1996.
Sementara di Kota Tasikmalaya, aparat keamamana baru dapat menguasai keadaan sekitar pukul 17.00 WIB pada hari Kamis naas itu. Di beberepa tempat saat itu masih terjadi pembakaran mobil, motor, dan apa saja milik warga nonpri.
Pukul 21.00, Panglima Kodam III Siliwangi, Mayjen TNI Tayo Tarmadi, datang ke Pondok Pesantren Condong untuk mengetahui kondisi kesehatan Ustadz Mahmud dan bertemu dengan KH Makmun. Satu jam kemudian Pangdam mengajak KH Makmun untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat melalui radio di pendopo kabupaten. Dalam penjelasannya di radio, pimpinan pondok pesantren berusia 74 tahun itu, membantah isu bahwa putranya, Ustadz Mahmud, telah meninggal dunia. Ia menegaskan, bahwa kondisi putranya hingga malam itu dalam keadaan sehat wal-afiat.
Dalam peristiwa itu sempat ditahan 106 orang, namun sebagian dibebaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan. Sedangkan yang ditahan di Polres Tasikmalaya tercacat 89 orang, tiga diantaranya wanita. Sementara korban yang meninggal adalah Kio Wie, 60 tahun, meninggal karena terjebak api, Eli Santoso, 34 tahun, tewas karena penyakit jantung. Keduanya adalah warga keturunan Cina. Dua orang lainnya tewas akibat amukan massa dan terjatuh dari truk saat kerusuhan terjadi. Kedua korban terakhir ini diduga ikut dalam rombongan massa.


Jumat sampai Minggu, 27 sampai 29 Desember 1996
Masyarakat Tasikmalaya masih diliputi ketakutan. Puluhan toko dan pabrik banyak yang menghentikan aktivitasnya. Sementara di berbagai sudut kota, tembok, dan toko-toko, serta kendaraan bermotor, banyak dijumpai kata-kata "muslim" atau "kepunyaan keluarga muslim". Agaknya, ini upaya untuk menghindari amukan massa. Aparat Pemda dibantu organisasi pemuda dan karang taruna, serta masyarakat pesantren, mulai membersihkan sisa-sisa kerusuhan.

Senin, 30 Desember 1996
Pangdam Siliwangi selaku Ketua Bakorstanasda Jawa Barat bersama Kapolda dan Gubernur Jawa Barat, mengadakan silaturahmi dengan tokoh dan alim ulama se-Tasikmalaya. Hadir dalam acara tersebut, Menteri Agama Tarmizi Taher, Ketua MUI KH Ali Yafie, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan dan tokoh-tokoh non-Islam.(Lihat Pendapat: "Di Tingkat Nasional Kerukunan Terwujud, Tapi Belum di Bawah...")
Kerusuhan yang diperkirakan menelan kerugian Rp 85 miliar tersebut disesalkan banyak pihak. Kapolda Jawa Barat, Mayjen Nana Permana, yang aparatnya dituduh memicu kerusuhan ini berjanji akan menindak tegas anak buahnya yang melakukan pelanggaran. "Semua berkasnya belum saya terima. Mengenai hukuman, mahkamah militer yang akan memutuskan," ujar Nana Permana yang asli Tasikmalaya ini.(Lihat Wawancara Mayjen Nana Permana: "Bermata Tak Melihat, Berkuping Tak Mendengar")
Benarkah Peristiwa Tasikmalaya melulu soal kekesalan pada polisi? Tatang Setiawan, Ketua Bina Sektor Informal Tasikmalaya, melihat lain ada penyebab yang lain. Yaitu, kekecewaan masyarakat selama ini yang secara ekonomi terpinggir. "Masyarakat Tasikmalaya itu kreativitasnya di bidang kredit, bordir, anyaman, dan peternakan. Sebelum masuk pemodal kuat, mereka dapat hidup layak dari usaha mereka. Tapi sekarang dengan masuknya konglomerasi, masyarakat Tasikmalaya terpinggirkan," kata Tatang yang punya anggota 1200 orang ini yang bergerak di 60 kelompok sektor informal.(Lihat Wawancara Tatang Setiawan: "Konglomerat Datang, Mereka Pun Terpinggirkan")

Senin, 30 Desember 1996
Kota Tasikmalaya, peraih Adipura 1995, berangsur-angsur pulih. Rakyat kembali sibuk dengan kegiatannya. Sejumlah angkutan kota mulai melayani masyarakat. Begitu pula kesibukan aparat pemerintahan. Polisi yang sebelumnya seperti "menghilang" dari jalanan, kembali menjalankan tugasnya mengatur lalu lintas. Namun, sebagian besar toko, swalayan, dan bank-bank di Kota Tasikmalaya masih tutup. Sementara sisa-sisa kerusuhan sudah tidak tampak di jalan. Hanya bangunan hangus yang jadi saksi kerusuhan yang paling parah sepanjang sejarah Tasikmalaya itu.
Boleh jadi, kerusuhan di Tasikmalaya bukan soal spontanitas atau solidaritas. Karena, ada saja yang menyaksikan beberapa truk berukuran besar penuh berisi manusia menurunkan "penumpang" di Tasikmalaya menjelang kerusuhan. Kabarnya, sekitar seratus pengendara motor -- di antaranya berambut gondrong, ada yang beranting dan berpeci -- juga datang dari luar kota untuk mengajak orang-orang Tasikmalaya membuat "perhitungan" karena ada muslim yang dianiaya. Inikah "kelompok" yang dituduh Gus Dur sengaja memojokkan NU? Masih harus ditunggu penyelidikan aparat keamanan.
Sementara, seperti juga kasus di Situbondo, agaknya kasus di lumbung pesantren Jawa Barat itu akan selesai di pengadilan. Aparat Polres Tasikmalaya dan juga perusuh akan menjalani hukuman.
Tapi, apakah akar permasalahan yang menyebabkan kerusuhan akan ditangani pemerintah dengan tuntas? Ini yang belum kunjung tampak dilakukan. Akar permasalahan itu, seperti kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Amien Rais, adalah tidak tahannya rakyat menghadapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang telah berlangsung cukup lama. Dan kezaliman itu bermula dari tiga penyakit kronis yang seolah-olah tak pernah mampu dibasmi. Yakni korupsi yang melembaga dan menyeruak ke seluruh sel-sel tubuh bangsa, kesenjangan sosial yang makin gawat, dan perilaku buruk petinggi negeri yang dirasuki paham aji mumpung.
 
 
diambil dari : http://khastasikmalaya.blogspot.com/2010/09/kronologis-kerusuhan-tasimalaya-th-1997.html