Senin, 07 September 2015

Tragedi Kampung Kraras - Timor Leste, Jejak Berdarah Kejahatan Prabowo Subianto

“Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo. Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke  Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi”
- Kolonel Purwanto


Ketika mendengar nama Prabowo Subianto, apa yang langsung dibayangkan oleh orang – orang tentang sosok yang satu ini? Mantan Danjen Kopassus, penjahat HAM, penculik aktivis, anti Cina, mantan menantu Presiden otoriter Soeharto, dan Capres Gerindra 2014. Inilah hal umum yang diketahui publik tentang Prabowo. Tetapi pernahkah kita mendengar tentang Kraras, sebuah kampung di Timor-Leste yang disebut sebagai ‘kampung janda’? Kampung Kraras memiliki hubungan erat dengan Kapten Prabowo.
September 1983. Hampir semua laki – laki termasuk anak laki – laki di kampung Kraras dibunuh oleh tentara Indonesia. Beberapa orang melarikan diri ke hutan. Saat ditangkap atau menyerahkan diri mereka dipaksa tinggal di sebuah tempat di Kraras yang bernama Lalerek Mutin. Di tempat ini banyak dari mereka yang mati kelaparan. Siapa dalang dibalik pembunuhan membabi buta di Kraras ini? Menurut Mario Carrascalao - Gubenur Timor Timur  waktu itu -  kejadian tragis pada 6 Agustus tersebut dikoordinir oleh Prabowo Subianto.
Tragedi Kraras ini berawal dari kasus pelecehan seksual yang dikabarnya dilakukan oleh para tentara Indonesia. Menurut Carrascalao dan sejumlah saksi mata, ada seorang anggota Hansip yang mengaku bahwa istrinya mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari anggota militer Indonesia. Anggota Hansip inilah yang kemudia bereaksi dan memukuli anggota militer yang mengganggu istrinya.
Carrascalao mengatakan, berdasarkan laporan yang sampai kepadanya, kejadian ini sudah diatur untuk menciptakan insiden. Pasalnya, Hansip yang memukuli anggota militer tersebut dibawa ke Viqueqe dan sebelum berangkat, Hansip meminta izin pulang ke rumah untuk mengambil pakaian. Namun setibanya di Kraras, istrinya berlari ke arahnya dan mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh beberapa tentara. Anggota Hansip yang memiliki kontak dengan gerilyawan di hutan, langsung melaporkan perihal tersebut kepada teman – temannya yang ia kenal selama masa gencatan senjata.
Pada tanggal 8 Agustus, pasukan Falintil dan anggota-anggota Ratih di bawah komando VirgĂ­lio dos Anjos (Ular Rheik) menyerang desa Kraras. Menewaskan 15 - 16 orang anggota batalyon zeni tempur (zipur). Salah seorang anggota zipur sedang berada di atap sebuah rumah sehingga ia selamat. Ia kemudian melaporkan serangan ini kepada komandan batalyon 501. Reaksi Pasukan Indonesia selanjutnya bisa ditebak.
Pada tanggal 7 September 1983, batalyon 501 memasuki desa Kraras yang sudah kosong dan membakar hampir semua rumah di sana. Sekitar 5 orang yang masih tinggal di desa, termasuk seorang perempuan tua, dibunuh dalam serangan ini. Mayat dari beberapa orang yang dibunuh dibakar bersama rumah-rumah mereka.
Menurut Mario Carrascalao Prabowo ditugaskan kembali ke Timor-Timur pada bulan September setelah serangan Falintil di Kraras, namun menurut sebuah sumber lain yang dikutip dalam wawancara dengan Mario, Prabowo kembali ke Timor pada 28 Agustus 1983.
“Orang-orang tahu bahwa ia dekat dengan Presiden Suharto dan beberapa orang lain dan bahwa ia dipercayai oleh mereka. Prabowo mengirim sebuah memo kepada para anggota militer untuk mengatasi situasi ini. Namun ketika kira-kira 200 warga desa Kraras keluar dari hutan, tentara Indonesia memisahkan 30 anak-anak dan membunuh mereka. Begitulah laporan orang-orang,” kata Mario Carrascalao.
Ketika pembantain Kraras terjadi, Prabowo ditugaskan untuk ketiga kalinya di Timor-Timur. CAVR mendapat kesaksian-kesaksian tentang keterlibatan berbagai kesatuan ABRI dalam pembantaian ini, termasuk Kodim 1630/Viqueque, Yonif 328, Yonif 501, dan Yonif 745, serta Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha). Beberapa sumber juga menyatakan kepada CAVR bahwa Prabowo terlibat dalam operasi untuk membawa penduduk sipil turun dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama kemudian beberapa ratus orang dibunuh tentara Indonesia. CAVR  juga menerima bukti keterlibatan Kopassus [sic] dalam pembunuhan-pembunuhan ini [lihat Chega! Bab 3. Sejarah Konflik, hal. 109]. Dari pihak Indonesia sendiri, Carrascalao dan bahkan Kolonel Purwanto mengkhawatirkan tindak-tanduk Prabowo saat itu. CAVR sendiri mensinyalir bahwa kemungkinan tindakan-tindakan pembunuhan itu dilakukan sebagai upaya untuk mensabotase terhadap gencatan senjata yang disepakati sebelumnya.
Sesaat sebelum digantikan oleh Kolonel Rudjito sebagai Komandan Korem Dili, Kolonel Purwanto pernah mengeluh kepada Mario Carrascalao tentang tindak-tanduk Prabowo. Timor Timur yang dinyatakan tertutup saat itu, tak seorangpun baik sipil ataupun militer yang boleh masuk atau meninggalkan Timor tanpa sepengetahuan Purwanto. Purwanto berkata kepada Carrascalao dalam sebuah kesempatan:
“Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo. Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke  Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi.”
Kisah ini merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan Prabowo dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kini Prabowo kembali ke Indonesia -  setelah dipecat dari satuan militer – dari pengasingannya di Yordania, Prabowo datang seolah – olah masyarakat melupakan kejahatan dan dosa – dosa kemanusiaan yang dilakukannya. Mirisnya, penjahat HAM ini justru kembali dan mengincar posisi Presiden di negara yang dulu dikhianatinya.
Jejak kejahatan Prabowo tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Korban kejahatannya masih ada,  bahkan 13 aktivis demokrasi yang diculiknya belum kembali hingga saat ini. Tetapi herannya, dengan bangga Gerindra menampilkan Prabowo sebagai sosok patriot. Relakah kita mengulangi konflik politik dan tragedi berdarah di Indonesia jika Prabowo terpilih sebagai Presiden? Tentu tidak. Oleh karena itu mari kita sebarkan aksi “Menolak Lupa Pada Prabowo” agar masyarakat tidak tertipu pada sosok Prabowo yang sesungguhnya.
Sumber: Satutimor.com/SUMBA