Selasa, 22 Maret 2016

Kasus Pembunuhan Salim Kancil di Lumajang (26 September 2015)


Kasus Pembunuhan Salim Kancil  di Lumajang (26 September 2015)


Salim Kancil sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun pada Sabtu, 26 September 2015. Hingga segerombolan orang datang dan menyerangnya di depan rumahnya.

Beruntung ia masih sempat menyelamatkan cucunya ke dalam rumahnya yang terletak di Kecamatan Pasirian, Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Semasa hidupnya, Salim Kancil dikenal sebagai warga yang aktif menolak tambang pasir di pantai dekat rumahnya. Ia tak sendiri, warga satu kecamatan juga menentangnya.

Tapi ia malah bernasib naas, meninggal diduga di tangan Tim 12. Siapa saja yang terlibat dan bagaimana insiden tersebut terjadi?

Berikut catatan krusial yang berhasil dihimpun Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya Fathul Khoir:

Tambang pasir dikelola Tim 12, anak buah kepala desa

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tambang pasir yang berada di Desa Selok Awar-Awar dikelola oleh Tim 12. Siapa mereka? Mereka adalah "anak buah" Kepala Desa Haryono. “Tim 12 itu dulu tim sukses Pak Kepala Desa,” kata Fathul. Tim ini berjumlah sekitar 40 orang lebih. Menurut Fathul, merekalah yang mengorganisir massa saat pemilihan kepala desa. Mereka belakangan diduga mengirimkan pesan ancaman kepada warga pada 8-9 September lalu. Sehingga warga melaporkan kepada Kepolisian Sektor Pasirian, yang kemudian diteruskan ke Kepolisian Resor Lumajang.

Isi pesan ancaman terkait aksi warga yang menentang penambangan pasir di Watu Pacak, Desa Selok Awar-Awar. Protes warga ini sudah berlangsung sejak setahun yang lalu, karena penambangan pasir dianggap merusak pertanian mereka, selain merusak ekosistem setempat.

Upaya pembunuhan dilakukan di depan anak-anak PAUD
Menurut KontraS, sekelompok orang yang diduga merupakan anggota Tim 12 ini berjumlah 40 orang dan merengsek ke rumah Salim. Mereka kemudian menyeret Salim dengan tali tampar yang biasa dibuat untuk menggiring sapi menuju Balai Desa Selok Awar-Awar, tempat Haryono biasa berkantor. Mereka pun masuk kantor Haryono dengan leluasa. Suasana lengang, karena pegawai libur di hari Sabtu.

Mereka kemudian merebahkan Salim untuk menyetrumnya. Upaya pembunuhan atas Salim dengan setrum itu diduga disaksikan oleh anak-anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), yang kebetulan sedang menggelar kelas di sebelah Balai Desa.

“Anak-anak kecil pun ketakutan, guru mereka kemudian meliburkan,” kata Fathul.

Diseret, disetrum, hingga digergaji

Meski disetrum, Salim masih bisa bertahan. Ia kemudian digergaji lehernya oleh salah satu dari gerombolan tersebut. Tapi tak mempan.

Ia lalu dibawa ke sekitar pemakaman umum. “Ada informasi dari saksi, bahwa ia disabet pakai pedang mirip clurit, tapi enggak apa-apa,” kata saksi tersebut.

Hingga salah satu dari anggota tersebut menimpuk Salim dengan batu yang besar. Salim akhirnya roboh. Ia kemudian menghembuskan nafas terakhir di depan pemakaman umum yang kelak menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Sekelompok orang tersebut kemudian bergerak ke tempat lain, dengan maksud mencari target yang lain.


Misteri aktor intelektual

Hingga hari ini, polisi telah menetapkan 18 orang menjadi tersangka. Tapi polisi tidak mengungkap apakah 40 orang lebih dari Tim 12 tersebut terlibat dalam pembunuhan Salim. Namun, siapa aktor intelektualnya?

“Termasuk sejauh mana keterlibatan kepala desa? Karena pelaku dulu mantan tim sukses kepala desa,” katanya.

Satu-satunya informasi yang berhasil diperoleh Fathul adalah sosok pemimpin Tim 12. Salah satu pimpinan mantan tim sukses kepala desa tersebut adalah Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, yang dijuluki dengan nama “Pak Desir”.

Salim bukan korban pertama

Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Salim bukanlah orang pertama yang diduga menjadi korban pembunuhan akibat menolak penambangan pasir di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

"Dari Desember 2014, proyek ini (penambangan pasir) dimulai dan melewati tiga desa. Dari semua desa masing-masing ada satu yang meninggal. Salim ini yang keempat," kata pengacara publik LBHJ Alldo Felix, Senin, 28 September.

Fathul membenarkan hal ini. “Sebelum Salim Kancil, di daerah sekitar itu, memang sering terjadi penolakan terhadap penambakan pasir liar,” katanya.

sumber : @febrofirdaus (Febriana Firdaus)

0 comments:

Posting Komentar