“Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor
Timur – Prabowo. Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke
Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya
tidak tahu lagi”
- Kolonel Purwanto
Ketika
mendengar nama Prabowo Subianto, apa yang langsung dibayangkan oleh
orang – orang tentang sosok yang satu ini? Mantan Danjen Kopassus,
penjahat HAM, penculik aktivis, anti Cina, mantan menantu Presiden
otoriter Soeharto, dan Capres Gerindra 2014. Inilah hal umum yang
diketahui publik tentang Prabowo. Tetapi pernahkah kita mendengar
tentang Kraras, sebuah kampung di Timor-Leste yang disebut sebagai
‘kampung janda’? Kampung Kraras memiliki hubungan erat dengan Kapten
Prabowo.
September 1983. Hampir semua laki – laki termasuk anak
laki – laki di kampung Kraras dibunuh oleh tentara Indonesia. Beberapa
orang melarikan diri ke hutan. Saat ditangkap atau menyerahkan diri
mereka dipaksa tinggal di sebuah tempat di Kraras yang bernama Lalerek
Mutin. Di tempat ini banyak dari mereka yang mati kelaparan. Siapa
dalang dibalik pembunuhan membabi buta di Kraras ini? Menurut Mario
Carrascalao - Gubenur Timor Timur waktu itu - kejadian tragis pada 6
Agustus tersebut dikoordinir oleh Prabowo Subianto.
Tragedi
Kraras ini berawal dari kasus pelecehan seksual yang dikabarnya
dilakukan oleh para tentara Indonesia. Menurut Carrascalao dan sejumlah
saksi mata, ada seorang anggota Hansip yang mengaku bahwa istrinya
mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari anggota militer Indonesia.
Anggota Hansip inilah yang kemudia bereaksi dan memukuli anggota militer
yang mengganggu istrinya.
Carrascalao mengatakan, berdasarkan
laporan yang sampai kepadanya, kejadian ini sudah diatur untuk
menciptakan insiden. Pasalnya, Hansip yang memukuli anggota militer
tersebut dibawa ke Viqueqe dan sebelum berangkat, Hansip meminta izin
pulang ke rumah untuk mengambil pakaian. Namun setibanya di Kraras,
istrinya berlari ke arahnya dan mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa
oleh beberapa tentara. Anggota Hansip yang memiliki kontak dengan
gerilyawan di hutan, langsung melaporkan perihal tersebut kepada teman –
temannya yang ia kenal selama masa gencatan senjata.
Pada
tanggal 8 Agustus, pasukan Falintil dan anggota-anggota Ratih di bawah
komando VirgĂlio dos Anjos (Ular Rheik) menyerang desa Kraras.
Menewaskan 15 - 16 orang anggota batalyon zeni tempur (zipur). Salah
seorang anggota zipur sedang berada di atap sebuah rumah sehingga ia
selamat. Ia kemudian melaporkan serangan ini kepada komandan batalyon
501. Reaksi Pasukan Indonesia selanjutnya bisa ditebak.
Pada
tanggal 7 September 1983, batalyon 501 memasuki desa Kraras yang sudah
kosong dan membakar hampir semua rumah di sana. Sekitar 5 orang yang
masih tinggal di desa, termasuk seorang perempuan tua, dibunuh dalam
serangan ini. Mayat dari beberapa orang yang dibunuh dibakar bersama
rumah-rumah mereka.
Menurut Mario Carrascalao Prabowo ditugaskan
kembali ke Timor-Timur pada bulan September setelah serangan Falintil di
Kraras, namun menurut sebuah sumber lain yang dikutip dalam wawancara
dengan Mario, Prabowo kembali ke Timor pada 28 Agustus 1983.
“Orang-orang
tahu bahwa ia dekat dengan Presiden Suharto dan beberapa orang lain dan
bahwa ia dipercayai oleh mereka. Prabowo mengirim sebuah memo kepada
para anggota militer untuk mengatasi situasi ini. Namun ketika kira-kira
200 warga desa Kraras keluar dari hutan, tentara Indonesia memisahkan
30 anak-anak dan membunuh mereka. Begitulah laporan orang-orang,” kata
Mario Carrascalao.
Ketika pembantain Kraras terjadi, Prabowo
ditugaskan untuk ketiga kalinya di Timor-Timur. CAVR mendapat
kesaksian-kesaksian tentang keterlibatan berbagai kesatuan ABRI
dalam pembantaian ini, termasuk Kodim 1630/Viqueque, Yonif 328, Yonif
501, dan Yonif 745, serta Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha).
Beberapa sumber juga menyatakan kepada CAVR bahwa Prabowo terlibat dalam
operasi untuk membawa penduduk sipil turun dari Gunung Bibeleu, dimana
tidak lama kemudian beberapa ratus orang dibunuh tentara Indonesia. CAVR
juga menerima bukti keterlibatan Kopassus [sic]
dalam pembunuhan-pembunuhan ini [lihat Chega! Bab 3. Sejarah Konflik,
hal. 109]. Dari pihak Indonesia sendiri, Carrascalao dan bahkan Kolonel
Purwanto mengkhawatirkan tindak-tanduk Prabowo saat itu. CAVR sendiri
mensinyalir bahwa kemungkinan tindakan-tindakan pembunuhan itu dilakukan
sebagai upaya untuk mensabotase terhadap gencatan senjata yang
disepakati sebelumnya.
Sesaat sebelum digantikan oleh Kolonel
Rudjito sebagai Komandan Korem Dili, Kolonel Purwanto pernah mengeluh
kepada Mario Carrascalao tentang tindak-tanduk Prabowo. Timor Timur yang
dinyatakan tertutup saat itu, tak seorangpun baik sipil ataupun militer
yang boleh masuk atau meninggalkan Timor tanpa sepengetahuan Purwanto.
Purwanto berkata kepada Carrascalao dalam sebuah kesempatan:
“Apa
yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo.
Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke Viqueque, sekitar
Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi.”
Kisah
ini merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan Prabowo dalam
perjalanan sejarah Indonesia. Kini Prabowo kembali ke Indonesia -
setelah dipecat dari satuan militer – dari pengasingannya di Yordania,
Prabowo datang seolah – olah masyarakat melupakan kejahatan dan dosa –
dosa kemanusiaan yang dilakukannya. Mirisnya, penjahat HAM ini justru
kembali dan mengincar posisi Presiden di negara yang dulu dikhianatinya.
Jejak
kejahatan Prabowo tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Korban
kejahatannya masih ada, bahkan 13 aktivis demokrasi yang diculiknya
belum kembali hingga saat ini. Tetapi herannya, dengan bangga Gerindra
menampilkan Prabowo sebagai sosok patriot. Relakah kita mengulangi
konflik politik dan tragedi berdarah di Indonesia jika Prabowo terpilih
sebagai Presiden? Tentu tidak. Oleh karena itu mari kita sebarkan aksi
“Menolak Lupa Pada Prabowo” agar masyarakat tidak tertipu pada sosok
Prabowo yang sesungguhnya.
Sumber: Satutimor.com/SUMBA