Kamis, 28 Juli 2016

Tragedi Idi Cut (Tragedi Arakundo) - Aceh (4 Februari 1999)


Tragedi Idi Cut yang dikenal luas dengan nama Tragedi Arakundo, adalah sebuah peristiwa pembantaian sipil yang terjadi tanggal 4 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh, Indonesia. Menurut sejumlah saksi mata, peristiwa yang dilancarkan tentara ABRI ini menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan orang lainnya. Para pelakunya sampai sekarang belum ditangkap dan diadili.

Latar belakang

Pembantaian ini diduga merupakan tindakan balas dendam ABRI atas penyisiran (sweeping) yang dilakukan sejumlah orang tak dikenal dan berujung pada pembunuhan beberapa personel ABRI di Lhok Nibong pada tanggal 29 Desember 1998. Jenazah mereka diceburkan ke Sungai Arakundo. Klaim ini diperkuat oleh kesaksian korban yang mendengar kata-kata para serdadu ABRI saat sedang membantai korban: "Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. Rasakan balasannya."

Peristiwa

Pada tanggal 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Nurussalam, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan pentas kegiatan di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB, sejumlah tentara datang dengan membawa senjata laras panjang. Penduduk setempat menduga mereka anggota Koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang saat itu sedang berada di sekitar tempat pembuatan pentas. Meski diserobot, masyarakat kembali melanjutkan persiapan acara. Sebelum acara dimulai pukul 20.30 WIB, massa yang berjumlah sekitar 10.000 orang dan datang dari berbagai daerah sudah berkumpul sejak sore harinya, membanjiri lapangan Simpang Kuala sampai ke pinggiran jalan nasional Medan-Banda Aceh.

Setelah acara selesai keesokan harinya pukul 00:45 WIB, masyarakat pulang dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda motor, dan menaiki mobil bak terbuka. Jalur kepulangan mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Saat itu, massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh anggota Koramil. Ada sejumlah laporan yang menyebutkan kerumunan massa awalnya dilempari batu dari arah markas Koramil di Idi Cut. Pukul 01:00, tembakan membabi buta dilepaskan dari arah markas Koramil ke arah kerumunan. Beberapa truk aparat sudah bersiaga di sana.

Setelah gelombang tembakan pertama, terjadi lagi penembakan ke arah massa. Setelah banyak massa berjatuhan, seorang saksi mata mendengar anggota TNI mengatakan, "Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai." Beberapa korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100. Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka. Tetapi ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi di selokan samping jalan.

Sekitar pukul 03:00 WIB, banyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama pelaku beserta pangkatnya, contohnya "Sertu Iskandar". Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan.

Tanggal 4 Februari pukul 08.00-12.00 WIB, tentara masih bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut. Penembakan acak secara membabi buta pun masih terjadi sesekali. Hari itu juga sampai keesokan harinya, penduduk desa melakukan pencarian di sungai dan berhasil mengangkat enam karung berisi jenazah korban. Jasad korban ketujuh yang ditembak mati ditemukan di dalam kendaraannya. Puluhan warga sipil terluka akibat insiden ini. 58 orang ditangkap dan kabarnya disiksa saat ditahan di penjara. Mereka semua dilepaskan tanggal 5 Februari. Tiga orang yang dituduh sebagai penceramah dalam kegiatan di Simpang Kuala sekaligus anggota GAM ditangkap aparat keamanan dan diadili. Pasca-insiden ini, 13 orang dilaporkan hilang dan tidak pernah ditemukan lagi.

Pencarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu. Di pinggir jembatan juga ditemukan peluru dan proyektil bermerek Pindad, produsen senjata api asal Bandung yang memasok persenjataan ABRI.

Korban

Pihak ABRI dan penduduk setempat menyampaikan informasi berbeda seputar jumlah korban Tragedi Idi Cut. Masyarakat yang turun tangan dalam pencarian menemukan enam mayat dalam karung di sungai dan satu korban tembak di dekat tempat kejadian, sehingga total korban tewas berjumlah 7 orang. Menurut harian Waspada tanggal 6 Februari, puluhan warga desa yang menyewa lima bus tidak diketahui keberadaannya dan bahkan ada satu bus yang hilang bersama sopir dan para penumpangnya.

Klaim masyarakat tersebut dibantah oleh Kolonel Johnny Wahab yang menyebutnya sebagai "rumor tanpa dasar". Ia mengatakan jumlah korban tewas "dua, mungkin tiga [orang]" dan 5.000 orang yang berkumpul di Idi Cut adalah simpatisan Gerakan Aceh Merdeka.

Pasca-peristiwa

Gubernur Aceh Syamsudin Mahmud menyebut tindakan ini "tidak berperikemanusiaan dan amat sangat mengejutkan". Katanya, "Orang-orang biasanya membuang sampah ke sungai, tetapi kali ini mereka membuang mayat manusia."

Peristiwa Idi Cut adalah satu dari lima kasus yang disarankan Amnesty International untuk diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA). Meski Jaksa Agung sudah melaksanakan investigasi pada November 1999, sejauh ini belum ada anggota aparat keamanan yang diadili atas tindak kekerasan ini.

Tanggal 7 Februari 1999, Anwar Yusuf, seorang relawan FP HAM yang ikut menyelidiki peristiwa Idi Cut, ditangkap di rumahnya oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota Komando Rayon Militer Kecamatan Idi Rayeuk. Ia diinterogasi oleh empat anggota ABRI seputar kunjungannya ke Sungai Arakundo dan dituduh sebagai anggota GAM. Saat menjalani interogasi di Koramil, Yusuf mengaku disiksa berulang-ulang, dipukul dengan balok kayu, sapu, dan kursi, disirami kopi panas, dipaksa jongkok di lantai sambil menjepit balok kayu, dan diancam akan ditembak. Sebelum ditahan di kepolisian pada 10 Februari 1999, ia sempat ditransfer ke Komando Distrik Militer Aceh Timur. Ia dilepaskan pada hari itu juga tanpa tuduhan apapun.

Harian Serambi Indonesia sempat menyebut acara yang diselenggarakan warga Idi Cut adalah "Dakwah Aceh Merdeka". Pemberitaan ini menuai kecaman keras dari masyarakat karena memunculkan opini bahwa semua massa yang hadir pada acara tersebut adalah anggota GAM. Topik ceramahnya seputar sejarah perjuangan rakyat Aceh, tetapi panitia penyelenggara menyatakan acara tersebut tidak ada bedanya dengan tabligh akbar lain yang sering diadakan masyarakat Aceh.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Idi_Cut

Kamis, 21 Juli 2016

Peristiwa Bom Candi Borobudur - Magelang (21 Januari 1985)

Peristiwa Bom Candi Borobudur - Magelang (21 Januari 1985)
 
Bom Candi Borobudur adalah peristiwa pengeboman peninggalan bersejarah Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada hari Senin 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia setelah pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla oleh anggota Komando Jihad pada tahun 1981.

Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan sembilan stupa pada candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Otak peristiwa pengeboman ini disebut sebagai "Ibrahim" alias Mohammad Jawad alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pengeboman ini disebut sebagai dalang pengeboman. Walaupun begitu, sosok Mohamad Jawad, otak peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini.

Tanggal kejadian peristiwa ini sering dikutip secara salah kaprah oleh pengguna blog di dunia maya sebagai tanggal 15 Januari dari sumber majalah TEMPO.

berita Peristiwa Bom Candi Borobudur - Magelang (21 Januari 1985) di tabloid kompas

Penangkapan tersangka dan proses peradilan

Setelah penyelidikan, polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini.

Dalam persidangan kasus ini, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap Candi Borobudur merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang menewaskan puluhan nyawa pemeluk agama Islam. Abdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan ketidakpuasannya atas peristiwa berdarah tersebut. Namun keterangan itu kemudian diragukan, karena sosok Mohammad Jawad atau "Ibrahim" yang disebut Husein sebagai dalangnya kemudian tidak pernah ditemukan oleh kepolisian.

Menurut pengakuannya, Abdulkadir mengaku dia tidak mengetahui rencana pengeboman tersebut. Dia dan ketiga kawan lain pada awalnya hanya sekadar diajak oleh Mohammad Jawad untuk "berkemah" ke Candi Borobudur sebelum kemudian dibujuk oleh Mohammad Jawad untuk mengebom candi nusantara bersejarah tersebut.

Sebagai pelaku di lapangan, Abdulkadir bukanlah seorang profesional karena dia mengaku bahwa dia tidak mengetahui seluk-beluk teknikal sebuah bom dan hanya mengiyakan bujukan "Ibrahim" rekannya. Setelah menyetujui bujukan Ibrahim, mereka kemudian diberikan sejumlah bom waktu rakitan yang telah dirakit secara rapi. Menurut pengakuannya, Ibrahim adalah orang yang merakit bom-bom tersebut. Bahan bom terbuat dari trinitrotoluena (TNT) tipe batangan PE 808 / tipe produksi Dahana. Tiap bom rakitan terdiri dari dua batang dinamit yang dipilin dengan selotip. Abdulkadir dan pelaku yang lain kemudian hanya tinggal memasangnya di dalam stupa dan memencet tombol berupa tombol arloji untuk mengaktifkan bom waktu tersebut.

Abdulkadir kemudian divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20 tahun setelah terbukti sebagai pelaku peledakan itu. Kakak Abdulkadir, Husein bin Ali Alhabsyi kemudian dihukum penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Lowokwaru, Malang. Abdulkadir bin Ali Alhabsyi memperoleh remisi Presiden RI setelah menjalani hukuman 10 tahun, dan Husein bin Ali Alhabsyi kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999. Husein sampai sekarang menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad sebagai dalang peristiwa tersebut.

Meledaknya bus Pemudi Express

Peristiwa pengeboman Candi Borobudur ini berkaitan dengan kasus ledakan bom di bus Pemudi Express jurusan Bali yang meledak di Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 16 Maret 1985. Terungkap dari pengakuan Abdulkadir setelah penangkapannya, bahwa dia dan Husein menumpang bus tersebut pada saat kejadian, dan meledaknya bus tersebut adalah karena bom yang mereka bawa meledak secara tidak sengaja karena terpicu oleh panasnya mesin kendaraan tersebut. Menurut pengakuannya, mereka tidak paham bahwa bom yang telah dimasukkan ke dalam lonjoran berbahan paralon berdiameter sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam tas itu bisa meledak bila kepanasan. Bom tersebut mereka letakkan di atas mesin, dan karena panas dan pemuaian, meledaklah bom tersebut.

Peristiwa pengeboman Candi Borobudur ini diduga pula berkaitan dengan peledakan Gereja Sasana Budaya Katolik Magelang beberapa waktu setelahnya.

Pasca bom Borobudur

Lama setelah peristiwa bom Borobudur, Ibrahim alias Mohamad Jawad belum juga dapat ditemukan dan ditangkap oleh Kepolisian Indonesia. Menurut pengakuan Husein pada TEMPO, sosok Mohammad Jawad adalah nyata karena orang itu pernah datang ke majelis taklim yang dipimpin Husein di Kota Malang. Jawad kerap datang sebagai ustad dan memberikan ceramah tentang berbagai hal di situ, termasuk tentang Tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Sosok ini menurut Husein sangat pandai berbicara dan mampu memengaruhi anak-anak muda, termasuk Abdulkadir yang kemudian menjadi pelaku peledakan Candi Borobudur ini. Ketidakmampuan kepolisian untuk melacak dan menangkap Mohammad Jawad hingga kini masih menjadi bahan diskusi.

Dugaan lain

Peristiwa pengeboman ini juga kemudian dianggap berhubungan dengan konteks politik kala tahun 1985, yaitu ketika sejumlah elit politik dalam rezim Orde Baru memberlakukan kebijakan yang mempersempit ruang gerak kepercayaan Islam. Muncul juga dugaan bahwa peledakan candi Borobudur yang sangat sakral bagi pemeluk ajaran Buddha ini adalah rekayasa dari kelompok anti-Islam untuk menyudutkan agama Islam. Teori konspirasi semacam ini sangat populer di kalangan kaum Islam radikal.