Sabtu, 10 Januari 2015

Tragedi Bintaro, Senin 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Api Terdahsyat di Indonesia

Misteri Tragedi Bintaro, Senin 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Api Terdahsyat di Indonesia

“Tragedi Bintaro” adalah peristiwa tabrakan ala “adu banteng” yang menggelegar oleh dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada Senin pagi, 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terdahsyat dan terburuk dalam sejarah perkereta-apian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.

Setiap kejadian adalah sebuah rentetan peristiwa, detik demi detik. Untuk itulah manusia diberikan akal agar dapat menyelidikinya secara keilmuan, agar peristiwa tragis itu tak terjadi lagi dan menjadikan segalanya menjadi lebih baik serta merubah keadaan untuk kedepannya…pertanyaannya adalah, maukah kita menjadi manusia yang lebih baik lagi?
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tiada pelindung bagi mereka, selain Dia.” (QS: Ar-Ra’d, ayat 11).
Mayat-mayat begelimpangan, sebagian dalam keadaan tidak utuh. Bau darah anyir memenuhi udara. Tubuh-tubuh yang lain terjepit di antara besi-besi, sebagian masih hidup namun sedang meregang nyawa.

 

Semoga semua korban dapat beristihahat dengan tenang, dan semoga tragedi ini tak akan terulang lagi, aamiin.
Tepat dihari ini, 19 Oktober 1987 di hari Senin pagi yang ramai, 25 tahun lalu.
Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro.
Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka.
Peristiwa itu merupakan yang terburuk setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September ditahun yang lebih awal 1968, yang menewaskan 116 orang.
Tabrakan pada tahun 1968 itu terjadi antara kereta api Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok
*****
Namun pada artikel kali ini, kita mencoba mengenang kembali (flashback) dimasa lalu pada tahun 1980-an, seconds from disaster di pagi hari tepatnya pada Senin tanggal 19 Oktober 1987.
Saat itu adalah detik-detik sebelum dua rangkaian kereta api ekonomi yang berjalan di kedua arah yang berbeda, namun keduanya hanya dalam satu jalur rel kereta api saja… dan akhirnya bertabrakan secara dahsyat!

Lokasi
Lokasi pada saat ini sat kecelakaan terjadi berada di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah Utara SMUN 86 Bintaro.
Tempat kejadian perkara berada di dekat tikungan yang melengkung (kini jalan tol) Bintaro, tepatnya di lengkungan berpola huruf “S”.
Berjarak kurang lebih 200 meter setelah palang pintu Pondok Betung atau ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara. Koordinat 6°15’39.9791”S 106°45’39.96”E (lihat peta lokasi)
Awal Mula Kesalahan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Saat itu, KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya Soleh, dan seorang kondektur, Syafei berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30317 dalam keadaaan sarat penumpang, yaitu sekitar 700 penumpang didalamnya.
Jenis Lokomotif nomer BB303 17 yang dipakai untuk menarik rangkaian kereta bernama KA.225 kelas Ekonomi, dari Merak ke Tanah Abang Jakarta, disaat Tragedi Bintaro 1987. (semboyan35.com)
KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dipimpin oleh masinis Amung Sunarya dengan asistennya Mujiono. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30617 ini bermuatan kurang lebih 500 penumpang, dan berada di jalur 2 Stasiun Kebayoran Lama.
Jenis Lokomotif nomer BB306 17 yang dipakai untuk menarik rangkaian kereta bernama KA.220 kelas Patas, dari Tanah Abang ke Rangkas Bitung, disaat Tragedi Bintaro 1987. (semboyan35.com)
Agar tak bingung, dibawah ini adalaqh urutan stasiun sepanjang trek sebelum bencana tersebut terjadi. Pada urutan trek masa sekarang, ada tiga stasiun baru yang pada masa lalu belum ada. Jika stasiun diurut dari arah Serpong ke arah Kebayoran pada masa kini, maka:
Rangkas Bitung –>Serpong – Rawa Buntu (stasiun baru) – Sudimara – Jurang Mangu (stasiun baru)Pondok Ranji (stasiun baru)lokasi tabrakan – Kebayoran … <– JakartaKota
Ringkasnya, posisi stasiun KA single trek pada masa lalu itu adalah:
Rangkas Bitung ->Serpong – Sudimara - lokasi tabrakan – Kebayoran … <- JakartaKota
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 Ekonomi (Rangkasbitung-Jakarta) ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Dari sini sudah terlihat KESALAHAN PROSEDUR kepala stasiun Serpong, karena tidak adanya komunikasi dan kordinasi dari Kepala Stasiun Serpong kepada Kepala Stasiun Sudimara.
Sehingga ketika KRD no. KA 225 (Rangkas-Jakarta) itu diberangkatkan dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, ternyata benar stasiun Sudimara yang hanya punya 3 jalur saat itu penuh dengan dua KA.
Maka Kepala Stasiun Sudimara pun lantas memerintahkan masinis KRD 225 dilansir masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasuin Sudimara:
  • Jalur 1: KA 225 (jalur lacu)
  • Jalur 2: KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga
  • Jalur 3: KA barang tanpa lokomotif
Memang menurut jadwal, seharusnya keduanya akan bersilang di stasiun Sudimara ini, dimana kalau tepat waktu, KA 225 seharusnya datang pukul 06.40 dan menunggu KA Cepat Patas 220 yang akan lewat pada pukul 06.49 di Stasiun Sudimara. Tapi kenyataannya, KA 225 ini terlambat 5 menit ketika sampai di Sudimara.
Alhasil semua jalur kereta di stasiun Sudimara akan tertutup rapat dan kereta lain tak bisa lewat. Karena penuh, maka kegiatan persilangan juga menjadi suatu yang mustahil.
Karena tak bisa, otomatis persilangan di Sudimara terpaksa dipindahkan lagi saja ke stasiun Kebayoran dengan menyuruh KA 225 jurusan Rangkas-Jakarta yang baru saja tiba dari Serpong dan kini ada di Sudimara dengan waktu yang terlambat itu, segera diberangkatkan ke stasiun Kebayoran.
Jadi pindah stasiun lagi untuk persilangan, yaitu ke stasiun Kebayoran. Namun karena kesalahan prosedur kali inilah, kemudian terjadi rentetan kesalahan prosedur yang akhirnya menyebabkan 139 orang tewas.
Sementara itu, ada kereta kedua KA 220 di stasiun Kebayoran dengan arah tujuan yang berlawanan, yaitu KA Patas yang tak berhenti (KA Cepat) bernomer KA 220 (Jakarta-Merak) yang arahnya berlawanan dengan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dan akan diberangkatkan dari Sudimara dan masuk ke stasiun Kebayoran.
Kembali ke stasiun Sudimara yang jalur keretanya penuh, dimana KA 225 sedang berada dan tak mungkin dilakukan persilangan/berpapasan, maka kemudian diberangkatkanlah KA 225 dari stasiun Sudimara ke stasiun Kebayoran agar dapat bersilang/papasan di stasiun Kebayoran.
Semboyan keberangkatan pun ditiup oleh kepala stasiun Sudimara, lalu KA 225 yang ada dijalur 1 Sudimara dan penuh penumpang tersebut, berangkat menuju stasiun Kebayoran….
Kembali lagi kita ke stasiun Kebayoran , disaat yang sama kereta cepat (KA Patas Jakarta-Merak) baru datang dan tak ada prosedur memberhentian tunggu karena KA Cepat tidak berhenti lama, maka tak lama kemudian KA Patas 220 (Jakarta-Merak) juga langsung diberangkatkan dari Kebayoran ke stasiun Sudimara dimana pada saat yang sama KA 225 sedang jalan menuju stasiun Kebayoran dalam satu jalur rel!!
Anehnya, padahal sebelum dilakukan persilangan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dari stasiun Sudimara (yang penuh) ke stasiun Kebayoran, sudah dilakukan kontak telepon oleh Kepala Stasiun Sudimara kepada Kepala Stasiun Kebayoran untuk meminta izin.
Pertanyaanya sekarang, mengapa kepala stasiun Kebayoran dengan “gila” telah melepas keberangkatan KA Patas 220 dari stasiun Kebayoran untuk berangkat ke stasiun Sudimara?
Rentetan Kesalahan Prosedur Yang Fatal
Mari kita ulangi kejadiannya lagi. Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin dulu ke Kebayoran, dan setelah diijinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.
Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. PPKA malah membuat PTP dan memberikannya hanya ke masinis, setelah itu baru menelpon meminta ijin ke Kebayoran, waduhhh! Dan sangat disayangkan, oleh PPKA Kebayoran waktu itu malah menjawab “Gampang, nanti diatur!”
Namun sesaat setelah itu, terjadi pula pergantian petugas PPKA Kebayoran. Padahal PPKA pengganti ini telah diberitahu oleh pendahulunya, bahwa di stasiun Sudimara ada dua KA yang belum masuk, termasuk KA 225. Pada saat itu, KA 220 sudah ada di Kebayoran dan siap berangkat.
Sementara itu di Sudimara, PPKA menyuruh juru langsir untuk melakukan tugasnya. Seharusnya pada saat itu, masinis harus memberikan laporan T-83 ke PPKA dan memberitahu rencana langsiran ke masinis KA 225.
Stasiun KA Kebayoran lama
Tapi entah kenapa, kereta KA 225 tiba-tiba langsung tancap gas dan melesat ke Kebayoran, tanpa ijin dari PPKA. Bahkan Kondekturnya juga tidak sempat naik! Karena kewalahan, juru langsir langsung melapor ke PPKA.
Benar saja, selang 5 menit kemudian, Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi, Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA nomer 220 jurusan JakartaKota-Tanahabang-Merak sudah berangkat dan sedang melaju menuju Sudimara.
Seketika, dua petugas PPKA Sudimara, mengejar KA 225 yang baru diberangkatkan dari Sudimara ke Kebayoran dengan berlari mengejar kereta KA 225 tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Mereka berdua terus menggoyangkan sinyal secara bergantian untuk menghentikan KA 225 tapi sia-sia.
Salah satu petugas PPKA Sudimara, Djamhari, tak patah arang, dia kejar lagi KA tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Tapi inipun juga gagal, karena kecepatan KA di atas 50 km/jam maka tidak mampu dikejar. Hingga ada juga petugas yang naik motor mengejar KA225, namun lalu lintas yang padat saat jam berangkat kantor, maka usaha terakhir ini pun juga sia-sia.
Djamhari melihat dari jauh KA 225 terus melaju semakin kencang ke arah stasiun Kebayoran, pengejarannya pun tetap sia-sia. Seketika ia menangis karena kaget, syok dan lelah, Djamhari pun sempat pingsan ditempat, dan setelah sadar ke stasiun Sudimara, dia pingsan lagi.
Pada saat yang sama, KA Patas 220 yang telah diberangkatkan dari Kebayoran juga terus melaju berangkat dari Kebayoran menuju Sudimara untuk menjemput maut…
Perjalanan Menuju Maut
Ngeri rasanya jika dibayangkan, hanya satu jalur KA antara kedua stasiun tapi diisi oleh dua kereta yang berjalan pada arah yang berlawanan, dengan kecepatan penuh!
Dua kereta api yang sama-sama sarat dengan penumpang, namun seluruhnya tak mengetahui keadaan genting ini, akhirnya pada Senin pagi itu dua KA dengan kecepatan penuh melaju bersama dengan arah saling berlawanan yang pada saat itu hanya ada satu fasilitas jalur rel.
Ditambah, jalur rel di KM 17+252 terdapat tikungan zig-zag yang berbentuk “S” berjarak pendek, tapi dikelilingi pepohonan yang rimbun. Disini sudut pandang cukup terbatas, kedua masinis sama-sama tak dapat melihat dan kedua kereta bertemu secara tiba-tiba.
Dalam keadaan mendadak, tiba-tiba kereta dari arah berlawanan muncul, para masinisnya panik dan tidak sempat mengerem, dan jika dilakukan pun akan percuma, apa yang bisa dilakukan hanyalah meloncat keluar!
Akhirnya tabrakan tak dapat lagi dihindari, kedua KA “bertabrakan muka” di lokasi ± Km 18.75 . Benturannya sedemikian dashyatnya, hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.
Efek teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam rongsokan kereta.
Jika prosedur dilakukan, maka KA 220 Patas (KA Cepat) yang akan melintas di stasiun Kebayoran secara normal, justru yang harus berhenti menunggu karena stasiun Sudimara penuh, KA 220 yang justru harus mengalah dan berhenti di stasiun Kebayoran untuk menunggu, hingga KA 225 sampai tiba di Kebayoran dan berpapasan di stasiun Kebayoran tersebut dengan KA 220.
Dampak Tragedi
Akibat tragedi tersebut, masinis KA Patas 220 Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
slamet tragedi bintaro
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Seorang mantan pengatur sinyal kereta api yang juga dinyatakan bersalah kini menapaki masa tua dengan penuh penantian.
Meskipun telah melalui banding, ia diputuskan tidak bersalah, hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun.
Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk mengenang masa lalu dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.
Kejadian ini sempat ramai diberitakan di berbagai media massa, dan sangat mengejutkan masyarakat. Walaupun kecelakaan kereta api sudah sering terjadi di dekade 1980-an, tapi baru kali ini sampai separah ini.
Namun PJKA tidak tinggal diam. Beberapa operasi penertiban segera dilaksanakan. Hal ini perlu, mengingat KA di jalur sekitar Tanahabang memang dari dulu terkenal karena ketidak-tertibannya. Entah karena banyaknya penumpang di lokomotif maupun di atap, ataupun karena banyak penumpang yang tidak membayar dan suka menghajar kondektur.
film Tragedi Bintaro
Dan pada saat kejadian, lokomotif KA 225 memang dipenuhi penumpang gelap, sebagian bergelantungan di luar.
Selain itu beberapa peningkatan prasarana juga dilakukan untuk pencegahan. Seperti pemasangan radio di lokomotif (pada waktu kejadian, sedikit lokomotif di Indonesia yang punya radio).
Selain itu di antara stasiun Kebayoran dan Sudimara kemudian dibangun stasiun baru, Pondok Ranji lalu disusul stasiun Jurang Mangu. Sistem persinyalan di jalur ini kemudian dirubah dari mekanik menjadi elektrik.
Namun, efek terbesar dari kejadian ini adalah pembangunan double track besar-besaran untuk mencegah tabrakan muka terjadi lagi. Ironisnya, program ini baru terlaksana hampir dua dekade kemudian dan akhirnya jalur ganda ini selesai pada tahun 2007. Andai proyek jalur ganda ini selesai 20 tahun lebih awal…
Kisah memilukan ini sempat diabadikan ke dalam sebuah filem dengan judul yang sama “Tragedi Bintaro”, untuk mengenang para korban dan berharap agar peristiwa ini tak terulang lagi, aamin. Berikut cupikannya, untuk film utuhnya bisa anda saksikan dibawah halaman ini atau klik disini: Cuplikan Film “Tragedi Bintaro”
Selain itu, penyanyi dan pencipta lagu terkenal Iwan Fals yang pada masa orde baru sempat dipidana karena lirik lagunya dan masuk bui, juga ikut mengabadikan peristiwa Tragedi Bintaro yang tragis ini dalam sebuah lagu yang berjudul 1910, berikut liriknya:
Apa kabar kereta yang terkapar di senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata… air mata…
Belum usai peluit belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi catatan sejarah
Air mata… air mata…
Berdarahkan tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa aku bosan
Lalu terangkat semua beban dipundak
Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara, tangismu terdengar lagi
Nusantara, derita bila terhenti
Bilakah… bilakah…
Sembilan belas oktober tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata… air mata…
Oooh…
Nusantara langitmu saksi kelabu
Nusantara terdengar lagi tangismu
Ho.. ho… ho…
Nusantara kau simpan kisah kereta
Nusantara kabarkan marah sang duka
Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang (klip video youtube – Iwan Fals 1910)
Kecelakaan ini juga menyisakan beberapa teka-teki hingga saat ini. Apa sesungguhnya yang menyebabkan masinis KA 225 berjalan tanpa ijin?
Dan setelah kejadian itu, kereta krane yang dijuluki “Si Bongkok”, yang dipakai untuk menolong, sempat mengalami anjlok dalam perjalanan kembali ke stasiun Manggarai.
Hingga saat ini perintah keberangkatan KA 225 yang diberikan PPKA Sudimara masih menjadi perdebatan, apakah akibat semboyan yang diberikan pak Djamhari (PPKA SDM saat itu) adalah semboyan 40 ataukah semboyan 46.

Kereta krane yang dijuluki “Si Bongkok”, yang pernah dipakai untuk menolong Tragedi Bintaro 1987 sempat anjlok di stasiun Manggarai.
Penyelidikan Menurut Saksi Mata dan Terdakwa
Dari hasil laporan terhadap beberapa petugas, di Stasiun Sudimara, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh dengan KA. Mengetahui hal tersebut, Djamhari selaku kepala PPKA ( Pengatur Perjalanan Kereta Api ) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi / Umrihadi menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.
Mau tak mau, Djamhari kemudian mengosongkan jalur 2 (KA Indocement) untuk menampung KA 220 Patas yang telah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama setelah mendapat izin dari Kepala PPKA dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1.
Djambhari kemudian memerintahkan Juru Langsir untuk memberi tahu masinis jika KA 225 hendak dipindah ke jalur 1. Juru Langsir kemudian memberi peringatan kepada masinis dan penumpang dengan mengibaskan Bendera Merah dan meniup peluit Semboyan 46 ( tanda kepada masinis dan penumpang jika kereta akan dilangsir )tanpa membatalkan perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada masinis KA 225.
Masinis KA 225 mendengar bunyi peluit Juru Langsir, namun ia tidak dapat memastikan apakah itu bunyi semboyan 46 atau semboyan 40 (tanda ketika petugas peron memberi sinyal hijau kepada kondektur KA, artinya jalur telah aman untuk dilalui).
Karena kondisi kereta yang penuh sesak, masinis pun menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar lokomotif, dan orang tersebut menjawab jika sudah waktunya kereta berangkat yaitu Semboyan 40 tanpa memastikan kembali.
Maka masinis membalas membunyikan Semboyan 41 (tanda yang dibunyikan oleh masinis dan kondektur sebagai respon atas dimengertinya semboyan 40 yang telah diisyaratkan oleh Kepala Stasiun), disusul kemudian dibunyikannya semboyan 35 (masinis membuyikan klakson sebagai tanda kereta akan berangkat).
Padahal sang Masinis tidak tahu jika semboyan 40 belum diberikan oleh Kepala PPKA, yang diberikan hanyalah Semboyan 46 (kereta harus langsir) dan sang masinis KA 225 langsung memberangkatkan kereta, hanya karena jawaban seseorang yang mengatakan jika kereta telah siap untuk berangkat.
Pada pukul 07.00 WIB, KA 225 berangkat tanpa ijin dari Kepala PPKA. Para petugas di Stasiun Sudimara dan Kepala PPKA langsung panik saat mengetahui KA 225 telah berangkat tanpa ijin, apalagi setelah Djamhari dihubungi oleh Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama jika KA 220 Patas juga telah berangkat menuju Sudimara.
Juru Langsir kemudian langsung mengejar KA 225 dan berhasil naik gerbong paling belakang, namun sayangnya ia tidak dapat memberi tahu sang masinis karena penuhnya penumpang. Maka tragedi tak dapat dihindari. Begitulah versi dan alibi serta kesaksian dari para petugas di tempat kejadian tentang penyebab tragedi ini.
Kamus Kecil:
  • Semboyan 35: Ketika Masinis membunyikan Horn (Klakson) KA, sebagai Tanda KA akan diberangkatkan.
  • Semboyan 40: Ketika Petugas Peron memberikan Sinyal Hijau kepada Kondektur KA, tanda jalur telah aman untuk dilalui.
  • Semboyan 41: Ketika Kondektur membunyikan Peluit sebagai respon atas dimengertinya Semboyan 40 yang telah diberikan.
  • Semboyan 46: Ketika Juru Langsir meniup peluit dan mengibaskan Bendera Merah, sebagai tanda kepada masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilangsir.

Nasib Sang Masinis Tragedi Bintaro
Purworejo – Kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987 yang menewaskan ratusan penumpang tidak hanya menjadi tragedi bagi mereka yang ditinggalkan. Ini juga sebuah tragedi besar bagi Slamet Suradio yang kala itu jadi masinis kereta nahas itu. Slamet menjadi terpidana dan dipenjara selama tiga tahun lebih. Pemeriksaan yang dialaminya pun penuh kekerasan.
Sejak itu, jalan hidup Slamet, warga Krajan, Desa Gintungan, Purworejo, Jawa Tengah, ini berbalik arah.. Selain dipenjara, lelaki empat anak ini dipecat dengan tidak hormat yang membuat ia kehilangan hak pensiunnya.
Keluar dari bui, untuk menghidupi istri dan anaknya, pria 71 tahun ini berdagang asongan dengan pendapatan Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per hari.
Kenangan saat jadi masinis membuatnya terkadang ingin mengenakan kembali baju kebanggaannya, seragam pegawai PT Kereta Api. Baju yang sudah berumur puluhan tahun itu masih terawat dan bersih. Kartu kepegawaian pun masih disimpannya. Slamet pasrah dengan jalan hidupnya. Hanya saja kalau bisa meminta ia ingin mendapat hak pensiunnya karena dia merasa pernah jadi pegawai negeri.
Slamet bintaro dan istri
Munculnya kisah Slamet Suradio (71) mantan masinis kereta yang mengalami tragedi kecelakaan Bintaro 1987 tersebut ini, dalam pemberitaan di beberapa media pekan lalu membuat kakek tua warga RT 02 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo ini mendadak tenar.
Apalagi setelah Mbah Slamet Bintaro, sapaan akrabnya di daerah tempat tinggalnya, tampil dalam sebuah acara televisi swasta, kisah nestapanya menggugah empati banyak orang.
Beberapa dermawan akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantu laki-laki yang saat menjalani hukuman penjara di LP Cipinang istrinya direbut orang itu.
Di dunia maya, nama Mbah Slamet pun tiba-tiba moncer. Di situs jejaring sosial Facebook juga muncul empati dari facebuker (pengguna Facebook) yang membuat grup “Dukung Mbah Slamet Memperjuangkan Uang Pensiunnya”.
Dalam group tersebut, banyak diupload pemberitaan dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang mengupas mengenai kisah- kisah kehidupan Mbah Slamet setelah menjalani hukuman akibat diputus bersalah dalam tragedi Bintaro.
Kisah sedih Mbah Slamet juga mampu menggugah rasa iba di kalangan para pengguna situs Kaskus. Di situs tersebut juga muncul seruan untuk mendukung Mbah Slamet untuk memperjuangkan uang pensiuannya. Bahkan beberapa orang menawarkan ide menggalang donasi untuk membantu mantan masinis malang ini.
Slamet masinis Tragedi Bintaro
Layaknya seorang selebriti, ketenaran mendadak itupun ternyata juga meminta “tumbal”. Mungkin bagi Anda sebuah lapak tempat jualan itu menjadi barang yang tidak berharga.
Tapi tidak bagi Mbah Slamet yang hanya memiliki penghasilan Rp 5.000 per hari dari pekerjaanya sebagai pengasong rokok dan tukang kayu.
Lapak tempat dia jualan di perempatan BRI Kutoarjo diambil paksa oleh pemiliknya. Tampilnya Mbah Slamet dalam pemberitaan media dianggap pemilik lapak itu sebagai bukti Mbah Slamet sudah mendapatkan uang pensiun.
“Dikira uang pensiuan saya sudah turun. Keluarga saya memang punya hutang sama orang yang meminjami saya lapak. Hutangnya 5 gram emas dan dijual dulu untuk mengurus pensiuan. Terus saya ditagih hutang. Saya jelaskan uang pensiun belum turun, dia tidak percaya. Akhirnya tempat jualan rokok itu diambil paksa,” keluh Mbah Slamet dengan tertawa polos saat ditemui di sela-sela dia membuat lapak baru di rumahnya, Rabu (13/10/2011).
Apes betul, ketenarannya itu juga membuat orang-orang yang dulu disambati Mbah Slamet menganggap kehidupan suami dari Tuginem (45) ini sudah mapan dan hidup layak. Padahal itu berbanding terbalik. Belum ada perubahan yang mencolok. Blandar rumahnya juga tetap keropos, bahkan dikhawatirkan bisa ambruk.
“Memang karena berita-berita kemarin, ada beberapa orang yang baik hati memberi bantuan. Tapi itu digunakan istri saya untuk memperbaiki rangka atap rumah. Kalau dibiarkan rumah bisa roboh dan menimpa keluarga kami kan bisa celaka semuanya,” katanya.
Slamet Suradio mantan masinis KA Cepat 220 Jurusan Tanahabang – Merak, saat Tragedi Bintaro.
Paiman (51), warga Tegal Kutoarjo yang juga masih saudara dengan Mbah Slamet tadi datang untuk memastikan keselamatan Mbah Slamet.
Sebab dia mendengar kabar lapak Mbah Slamet sempat akan dibakar setelah dia menyatakan benar-benar belum mendapat uang pensiun. “Saya kasihan, makanya untuk memastikan kondisinya saya datang kesini,” katanya, tadi.
Paiman menegaskan, hingga hari ini uang pensiun Mbah Slamet benar-benar belum turun. Oleh karena itu, dia berharap ada orang atau lembaga bantuan hukum yang secara sosial bersedia membantu Mbah Slamet untuk bisa memper-juangkan uang pensiuannya.
Lagi-lagi karena uang pensiun itulah yang menjadi harapan Mbah Slamet yang kini usianya sudah semakin udzur.
Timbul pertanyaan, kenapa selalu masinis yang dipersalahkan dalam setiap kasus tabrakan? Apakah ada yang salah dengan hukum dan keadilan di negeri ini? Apa ada “main-main” di dalam tubuh PT. KAI sendiri? atau ada hal lain?
Masinis hanyalah manusia atau karyawan rendahan PNS yang menjalankan perintah sesuai semboyan perkereta-apian yang diberikan dari atasannya. Justru jika ia tak melaksanakannya, barulah ia melanggar perintah yang telah diberikan kepadanya.

diambil dari : https://indocropcircles.wordpress.com/2012/10/17/25-tahun-tragedi-bintaro-senin-19-oktober-1987-2012/

0 comments:

Posting Komentar