Misteri Tragedi Bintaro, Senin 19 Oktober 1987, Kecelakaan Kereta Api Terdahsyat di Indonesia
“Tragedi Bintaro” adalah peristiwa
tabrakan ala “adu banteng” yang menggelegar oleh dua buah kereta api di
daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada Senin pagi, 19 Oktober
1987 yang merupakan kecelakaan terdahsyat dan terburuk dalam sejarah
perkereta-apian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian
publik dunia.
Setiap kejadian adalah sebuah rentetan
peristiwa, detik demi detik. Untuk itulah manusia diberikan akal agar
dapat menyelidikinya secara keilmuan, agar peristiwa tragis itu tak
terjadi lagi dan menjadikan segalanya menjadi lebih baik serta merubah
keadaan untuk kedepannya…pertanyaannya adalah, maukah kita menjadi
manusia yang lebih baik lagi?
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tiada pelindung bagi
mereka, selain Dia.” (QS: Ar-Ra’d, ayat 11).
Mayat-mayat begelimpangan, sebagian dalam
keadaan tidak utuh. Bau darah anyir memenuhi udara. Tubuh-tubuh yang
lain terjepit di antara besi-besi, sebagian masih hidup namun sedang
meregang nyawa.
Semoga semua korban dapat beristihahat dengan tenang, dan semoga tragedi ini tak akan terulang lagi, aamiin.
Tepat dihari ini, 19 Oktober 1987 di hari Senin pagi yang ramai, 25 tahun lalu.
Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan
Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak
bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro.
Peristiwa itu terjadi persis pada jam
sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat
besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka.
Peristiwa itu merupakan yang terburuk
setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September ditahun yang
lebih awal 1968, yang menewaskan 116 orang.
Tabrakan pada tahun 1968 itu terjadi antara kereta api Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok
*****
Namun pada artikel kali ini, kita mencoba mengenang kembali (flashback) dimasa lalu pada tahun 1980-an, seconds from disaster di pagi hari tepatnya pada Senin tanggal 19 Oktober 1987.
Saat itu adalah detik-detik sebelum dua
rangkaian kereta api ekonomi yang berjalan di kedua arah yang berbeda,
namun keduanya hanya dalam satu jalur rel kereta api saja… dan akhirnya
bertabrakan secara dahsyat!
Lokasi
Lokasi pada saat ini sat kecelakaan terjadi berada di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah Utara SMUN 86 Bintaro.
Lokasi pada saat ini sat kecelakaan terjadi berada di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah Utara SMUN 86 Bintaro.
Tempat kejadian perkara berada di dekat
tikungan yang melengkung (kini jalan tol) Bintaro, tepatnya di
lengkungan berpola huruf “S”.
Berjarak kurang lebih 200 meter setelah
palang pintu Pondok Betung atau ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara.
Koordinat 6°15’39.9791”S 106°45’39.96”E (lihat peta lokasi)
Awal Mula Kesalahan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Saat itu, KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya Soleh, dan seorang kondektur, Syafei berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30317 dalam keadaaan sarat penumpang, yaitu sekitar 700 penumpang didalamnya.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Saat itu, KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya Soleh, dan seorang kondektur, Syafei berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30317 dalam keadaaan sarat penumpang, yaitu sekitar 700 penumpang didalamnya.
KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220
Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dipimpin oleh masinis Amung
Sunarya dengan asistennya Mujiono. Kereta yang ditarik oleh lokomotif
BB30617 ini bermuatan kurang lebih 500 penumpang, dan berada di jalur 2
Stasiun Kebayoran Lama.
Agar tak bingung, dibawah ini adalaqh
urutan stasiun sepanjang trek sebelum bencana tersebut terjadi. Pada
urutan trek masa sekarang, ada tiga stasiun baru yang pada masa lalu
belum ada. Jika stasiun diurut dari arah Serpong ke arah Kebayoran pada
masa kini, maka:
Rangkas Bitung –> … Serpong – Rawa Buntu (stasiun baru) – Sudimara – Jurang Mangu (stasiun baru) – Pondok Ranji (stasiun baru) – lokasi tabrakan – Kebayoran … <– JakartaKota
Ringkasnya, posisi stasiun KA single trek pada masa lalu itu adalah:
Rangkas Bitung -> … Serpong – Sudimara - lokasi tabrakan – Kebayoran … <- JakartaKota
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala
stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 Ekonomi
(Rangkasbitung-Jakarta) ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara.
Dari sini sudah terlihat KESALAHAN PROSEDUR kepala stasiun Serpong,
karena tidak adanya komunikasi dan kordinasi dari Kepala Stasiun Serpong
kepada Kepala Stasiun Sudimara.
Sehingga ketika KRD no. KA 225
(Rangkas-Jakarta) itu diberangkatkan dari Serpong dan tiba di Stasiun
Sudimara pada pukul 6:45 WIB, ternyata benar stasiun Sudimara yang hanya
punya 3 jalur saat itu penuh dengan dua KA.
Maka Kepala Stasiun Sudimara pun lantas
memerintahkan masinis KRD 225 dilansir masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu),
dengan posisi di Stasuin Sudimara:
- Jalur 1: KA 225 (jalur lacu)
- Jalur 2: KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga
- Jalur 3: KA barang tanpa lokomotif
Memang menurut jadwal, seharusnya
keduanya akan bersilang di stasiun Sudimara ini, dimana kalau tepat
waktu, KA 225 seharusnya datang pukul 06.40 dan menunggu KA Cepat Patas
220 yang akan lewat pada pukul 06.49 di Stasiun Sudimara. Tapi
kenyataannya, KA 225 ini terlambat 5 menit ketika sampai di Sudimara.
Alhasil semua jalur kereta di stasiun
Sudimara akan tertutup rapat dan kereta lain tak bisa lewat. Karena
penuh, maka kegiatan persilangan juga menjadi suatu yang mustahil.
Karena
tak bisa, otomatis persilangan di Sudimara terpaksa dipindahkan lagi
saja ke stasiun Kebayoran dengan menyuruh KA 225 jurusan Rangkas-Jakarta
yang baru saja tiba dari Serpong dan kini ada di Sudimara dengan waktu
yang terlambat itu, segera diberangkatkan ke stasiun Kebayoran.
Jadi pindah stasiun lagi untuk
persilangan, yaitu ke stasiun Kebayoran. Namun karena kesalahan prosedur
kali inilah, kemudian terjadi rentetan kesalahan prosedur yang akhirnya
menyebabkan 139 orang tewas.
Sementara itu, ada kereta kedua KA 220 di
stasiun Kebayoran dengan arah tujuan yang berlawanan, yaitu KA Patas
yang tak berhenti (KA Cepat) bernomer KA 220 (Jakarta-Merak) yang
arahnya berlawanan dengan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dan akan
diberangkatkan dari Sudimara dan masuk ke stasiun Kebayoran.
Kembali ke stasiun Sudimara yang jalur
keretanya penuh, dimana KA 225 sedang berada dan tak mungkin dilakukan
persilangan/berpapasan, maka kemudian diberangkatkanlah KA 225 dari
stasiun Sudimara ke stasiun Kebayoran agar dapat bersilang/papasan di
stasiun Kebayoran.
Semboyan keberangkatan pun ditiup oleh
kepala stasiun Sudimara, lalu KA 225 yang ada dijalur 1 Sudimara dan
penuh penumpang tersebut, berangkat menuju stasiun Kebayoran….
Kembali lagi kita ke stasiun Kebayoran ,
disaat yang sama kereta cepat (KA Patas Jakarta-Merak) baru datang dan
tak ada prosedur memberhentian tunggu karena KA Cepat tidak berhenti
lama, maka tak lama kemudian KA Patas 220 (Jakarta-Merak) juga langsung
diberangkatkan dari Kebayoran ke stasiun Sudimara dimana pada saat yang
sama KA 225 sedang jalan menuju stasiun Kebayoran dalam satu jalur rel!!
Anehnya, padahal sebelum dilakukan
persilangan KA 225 (Rangkas-Jakarta) dari stasiun Sudimara (yang penuh)
ke stasiun Kebayoran, sudah dilakukan kontak telepon oleh Kepala Stasiun
Sudimara kepada Kepala Stasiun Kebayoran untuk meminta izin.
Pertanyaanya sekarang, mengapa kepala
stasiun Kebayoran dengan “gila” telah melepas keberangkatan KA Patas 220
dari stasiun Kebayoran untuk berangkat ke stasiun Sudimara?
Rentetan Kesalahan Prosedur Yang Fatal
Mari kita ulangi kejadiannya lagi. Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin dulu ke Kebayoran, dan setelah diijinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.
Mari kita ulangi kejadiannya lagi. Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin dulu ke Kebayoran, dan setelah diijinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.
Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya.
PPKA malah membuat PTP dan memberikannya hanya ke masinis, setelah itu
baru menelpon meminta ijin ke Kebayoran, waduhhh! Dan sangat
disayangkan, oleh PPKA Kebayoran waktu itu malah menjawab “Gampang,
nanti diatur!”
Namun sesaat setelah itu, terjadi pula pergantian petugas PPKA Kebayoran.
Padahal PPKA pengganti ini telah diberitahu oleh pendahulunya, bahwa di
stasiun Sudimara ada dua KA yang belum masuk, termasuk KA 225. Pada
saat itu, KA 220 sudah ada di Kebayoran dan siap berangkat.
Sementara itu di Sudimara, PPKA menyuruh
juru langsir untuk melakukan tugasnya. Seharusnya pada saat itu, masinis
harus memberikan laporan T-83 ke PPKA dan memberitahu rencana langsiran
ke masinis KA 225.
Tapi entah kenapa, kereta KA 225
tiba-tiba langsung tancap gas dan melesat ke Kebayoran, tanpa ijin dari
PPKA. Bahkan Kondekturnya juga tidak sempat naik! Karena kewalahan, juru
langsir langsung melapor ke PPKA.
Benar saja, selang 5 menit kemudian,
Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi,
Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA nomer 220
jurusan JakartaKota-Tanahabang-Merak sudah berangkat dan sedang melaju
menuju Sudimara.
Seketika, dua petugas PPKA Sudimara,
mengejar KA 225 yang baru diberangkatkan dari Sudimara ke Kebayoran
dengan berlari mengejar kereta KA 225 tersebut sambil mengibarkan
bendera merah. Mereka berdua terus menggoyangkan sinyal secara
bergantian untuk menghentikan KA 225 tapi sia-sia.
Salah satu petugas PPKA Sudimara,
Djamhari, tak patah arang, dia kejar lagi KA tersebut sambil mengibarkan
bendera merah. Tapi inipun juga gagal, karena kecepatan KA di atas 50
km/jam maka tidak mampu dikejar. Hingga ada juga petugas yang naik motor
mengejar KA225, namun lalu lintas yang padat saat jam berangkat kantor,
maka usaha terakhir ini pun juga sia-sia.
Djamhari melihat dari jauh KA 225 terus
melaju semakin kencang ke arah stasiun Kebayoran, pengejarannya pun
tetap sia-sia. Seketika ia menangis karena kaget, syok dan lelah,
Djamhari pun sempat pingsan ditempat, dan setelah sadar ke stasiun
Sudimara, dia pingsan lagi.
Pada saat yang sama, KA Patas 220 yang
telah diberangkatkan dari Kebayoran juga terus melaju berangkat dari
Kebayoran menuju Sudimara untuk menjemput maut…
Perjalanan Menuju Maut
Ngeri rasanya jika dibayangkan, hanya satu jalur KA antara kedua stasiun tapi diisi oleh dua kereta yang berjalan pada arah yang berlawanan, dengan kecepatan penuh!
Ngeri rasanya jika dibayangkan, hanya satu jalur KA antara kedua stasiun tapi diisi oleh dua kereta yang berjalan pada arah yang berlawanan, dengan kecepatan penuh!
Dua kereta api yang sama-sama sarat
dengan penumpang, namun seluruhnya tak mengetahui keadaan genting ini,
akhirnya pada Senin pagi itu dua KA dengan kecepatan penuh melaju
bersama dengan arah saling berlawanan yang pada saat itu hanya ada satu
fasilitas jalur rel.
Ditambah, jalur rel di KM 17+252 terdapat
tikungan zig-zag yang berbentuk “S” berjarak pendek, tapi dikelilingi
pepohonan yang rimbun. Disini sudut pandang cukup terbatas, kedua
masinis sama-sama tak dapat melihat dan kedua kereta bertemu secara
tiba-tiba.
Dalam keadaan mendadak, tiba-tiba kereta
dari arah berlawanan muncul, para masinisnya panik dan tidak sempat
mengerem, dan jika dilakukan pun akan percuma, apa yang bisa dilakukan
hanyalah meloncat keluar!
Akhirnya tabrakan tak dapat lagi
dihindari, kedua KA “bertabrakan muka” di lokasi ± Km 18.75 .
Benturannya sedemikian dashyatnya, hingga gerbong pertama persis di
belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing
lokomotifnya.
Efek
teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib
malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Karena itu tidak heran bahwa semua korban
tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah
tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah
dari dalam rongsokan kereta.
Jika prosedur dilakukan, maka KA 220
Patas (KA Cepat) yang akan melintas di stasiun Kebayoran secara normal,
justru yang harus berhenti menunggu karena stasiun Sudimara penuh, KA
220 yang justru harus mengalah dan berhenti di stasiun Kebayoran untuk
menunggu, hingga KA 225 sampai tiba di Kebayoran dan berpapasan di
stasiun Kebayoran tersebut dengan KA 220.
Dampak Tragedi
Akibat tragedi tersebut, masinis KA Patas 220 Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
Akibat tragedi tersebut, masinis KA Patas 220 Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Seorang mantan pengatur sinyal kereta api yang juga dinyatakan bersalah kini menapaki masa tua dengan penuh penantian.
Meskipun telah melalui banding, ia
diputuskan tidak bersalah, hingga kini hanya bisa menunggu datangnya
mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari
dua puluh tahun.
Badan ringkih itu kini acapkali nampak
ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk mengenang masa lalu dan
tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas
dikasihani.
Kejadian ini sempat ramai diberitakan di
berbagai media massa, dan sangat mengejutkan masyarakat. Walaupun
kecelakaan kereta api sudah sering terjadi di dekade 1980-an, tapi baru
kali ini sampai separah ini.
Namun PJKA tidak tinggal diam. Beberapa
operasi penertiban segera dilaksanakan. Hal ini perlu, mengingat KA di
jalur sekitar Tanahabang memang dari dulu terkenal karena
ketidak-tertibannya. Entah karena banyaknya penumpang di lokomotif
maupun di atap, ataupun karena banyak penumpang yang tidak membayar dan
suka menghajar kondektur.
Dan pada saat kejadian, lokomotif KA 225 memang dipenuhi penumpang gelap, sebagian bergelantungan di luar.
Selain itu beberapa peningkatan prasarana
juga dilakukan untuk pencegahan. Seperti pemasangan radio di lokomotif
(pada waktu kejadian, sedikit lokomotif di Indonesia yang punya radio).
Selain itu di antara stasiun Kebayoran
dan Sudimara kemudian dibangun stasiun baru, Pondok Ranji lalu disusul
stasiun Jurang Mangu. Sistem persinyalan di jalur ini kemudian dirubah
dari mekanik menjadi elektrik.
Namun, efek terbesar dari kejadian ini
adalah pembangunan double track besar-besaran untuk mencegah tabrakan
muka terjadi lagi. Ironisnya, program ini baru terlaksana hampir dua
dekade kemudian dan akhirnya jalur ganda ini selesai pada tahun 2007.
Andai proyek jalur ganda ini selesai 20 tahun lebih awal…
Kisah memilukan ini sempat diabadikan ke
dalam sebuah filem dengan judul yang sama “Tragedi Bintaro”, untuk
mengenang para korban dan berharap agar peristiwa ini tak terulang lagi,
aamin. Berikut cupikannya, untuk film utuhnya bisa anda saksikan
dibawah halaman ini atau klik disini: Cuplikan Film “Tragedi Bintaro”
Selain itu, penyanyi dan pencipta lagu
terkenal Iwan Fals yang pada masa orde baru sempat dipidana karena lirik
lagunya dan masuk bui, juga ikut mengabadikan peristiwa Tragedi Bintaro
yang tragis ini dalam sebuah lagu yang berjudul 1910, berikut liriknya:
Apa kabar kereta yang terkapar di senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata… air mata…
Belum usai peluit belum habis putaran rodaDi gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata… air mata…
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi catatan sejarah
Air mata… air mata…
Berdarahkan tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa aku bosan
Lalu terangkat semua beban dipundak
Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara, tangismu terdengar lagi
Nusantara, derita bila terhenti
Bilakah… bilakah…
Sembilan belas oktober tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata… air mata…
Oooh…
Nusantara langitmu saksi kelabu
Nusantara terdengar lagi tangismu
Ho.. ho… ho…
Nusantara kau simpan kisah kereta
Nusantara kabarkan marah sang duka
Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang (klip video youtube – Iwan Fals 1910)
Kecelakaan ini juga menyisakan beberapa
teka-teki hingga saat ini. Apa sesungguhnya yang menyebabkan masinis KA
225 berjalan tanpa ijin?
Dan setelah kejadian itu, kereta krane yang dijuluki “Si Bongkok”, yang dipakai untuk menolong, sempat mengalami anjlok dalam perjalanan kembali ke stasiun Manggarai.
Hingga saat ini perintah keberangkatan KA
225 yang diberikan PPKA Sudimara masih menjadi perdebatan, apakah
akibat semboyan yang diberikan pak Djamhari (PPKA SDM saat itu) adalah
semboyan 40 ataukah semboyan 46.
Penyelidikan Menurut Saksi Mata dan Terdakwa
Dari hasil laporan terhadap beberapa petugas, di Stasiun Sudimara, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh dengan KA. Mengetahui hal tersebut, Djamhari selaku kepala PPKA ( Pengatur Perjalanan Kereta Api ) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi / Umrihadi menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.
Dari hasil laporan terhadap beberapa petugas, di Stasiun Sudimara, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh dengan KA. Mengetahui hal tersebut, Djamhari selaku kepala PPKA ( Pengatur Perjalanan Kereta Api ) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi / Umrihadi menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.
Mau tak mau, Djamhari kemudian
mengosongkan jalur 2 (KA Indocement) untuk menampung KA 220 Patas yang
telah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama setelah mendapat izin dari
Kepala PPKA dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1.
Djambhari kemudian memerintahkan Juru
Langsir untuk memberi tahu masinis jika KA 225 hendak dipindah ke jalur
1. Juru Langsir kemudian memberi peringatan kepada masinis dan penumpang
dengan mengibaskan Bendera Merah dan meniup peluit Semboyan 46
( tanda kepada masinis dan penumpang jika kereta akan dilangsir )tanpa
membatalkan perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada masinis
KA 225.
Masinis KA 225 mendengar bunyi peluit
Juru Langsir, namun ia tidak dapat memastikan apakah itu bunyi semboyan
46 atau semboyan 40 (tanda ketika petugas peron memberi sinyal hijau
kepada kondektur KA, artinya jalur telah aman untuk dilalui).
Karena kondisi kereta yang penuh sesak,
masinis pun menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar lokomotif,
dan orang tersebut menjawab jika sudah waktunya kereta berangkat yaitu Semboyan 40 tanpa memastikan kembali.
Maka masinis membalas membunyikan Semboyan 41
(tanda yang dibunyikan oleh masinis dan kondektur sebagai respon atas
dimengertinya semboyan 40 yang telah diisyaratkan oleh Kepala Stasiun),
disusul kemudian dibunyikannya semboyan 35 (masinis membuyikan klakson
sebagai tanda kereta akan berangkat).
Padahal sang Masinis tidak tahu jika
semboyan 40 belum diberikan oleh Kepala PPKA, yang diberikan hanyalah
Semboyan 46 (kereta harus langsir) dan sang masinis KA 225 langsung
memberangkatkan kereta, hanya karena jawaban seseorang yang mengatakan
jika kereta telah siap untuk berangkat.
Pada pukul 07.00 WIB, KA 225 berangkat
tanpa ijin dari Kepala PPKA. Para petugas di Stasiun Sudimara dan Kepala
PPKA langsung panik saat mengetahui KA 225 telah berangkat tanpa ijin,
apalagi setelah Djamhari dihubungi oleh Kepala PPKA Stasiun Kebayoran
Lama jika KA 220 Patas juga telah berangkat menuju Sudimara.
Juru Langsir kemudian langsung mengejar
KA 225 dan berhasil naik gerbong paling belakang, namun sayangnya ia
tidak dapat memberi tahu sang masinis karena penuhnya penumpang. Maka
tragedi tak dapat dihindari. Begitulah versi dan alibi serta kesaksian
dari para petugas di tempat kejadian tentang penyebab tragedi ini.
Kamus Kecil:
- Semboyan 35: Ketika Masinis membunyikan Horn (Klakson) KA, sebagai Tanda KA akan diberangkatkan.
- Semboyan 40: Ketika Petugas Peron memberikan Sinyal Hijau kepada Kondektur KA, tanda jalur telah aman untuk dilalui.
- Semboyan 41: Ketika Kondektur membunyikan Peluit sebagai respon atas dimengertinya Semboyan 40 yang telah diberikan.
- Semboyan 46: Ketika Juru Langsir meniup peluit dan mengibaskan Bendera Merah, sebagai tanda kepada masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilangsir.
Nasib Sang Masinis Tragedi Bintaro
Purworejo – Kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987 yang menewaskan ratusan penumpang tidak hanya menjadi tragedi bagi mereka yang ditinggalkan. Ini juga sebuah tragedi besar bagi Slamet Suradio yang kala itu jadi masinis kereta nahas itu. Slamet menjadi terpidana dan dipenjara selama tiga tahun lebih. Pemeriksaan yang dialaminya pun penuh kekerasan.
Purworejo – Kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987 yang menewaskan ratusan penumpang tidak hanya menjadi tragedi bagi mereka yang ditinggalkan. Ini juga sebuah tragedi besar bagi Slamet Suradio yang kala itu jadi masinis kereta nahas itu. Slamet menjadi terpidana dan dipenjara selama tiga tahun lebih. Pemeriksaan yang dialaminya pun penuh kekerasan.
Sejak itu, jalan hidup Slamet, warga
Krajan, Desa Gintungan, Purworejo, Jawa Tengah, ini berbalik arah..
Selain dipenjara, lelaki empat anak ini dipecat dengan tidak hormat yang
membuat ia kehilangan hak pensiunnya.
Keluar dari bui, untuk menghidupi istri
dan anaknya, pria 71 tahun ini berdagang asongan dengan pendapatan Rp
3.000 sampai Rp 4.000 per hari.
Kenangan saat jadi masinis membuatnya
terkadang ingin mengenakan kembali baju kebanggaannya, seragam pegawai
PT Kereta Api. Baju yang sudah berumur puluhan tahun itu masih terawat
dan bersih. Kartu kepegawaian pun masih disimpannya. Slamet pasrah
dengan jalan hidupnya. Hanya saja kalau bisa meminta ia ingin mendapat
hak pensiunnya karena dia merasa pernah jadi pegawai negeri.
Munculnya kisah Slamet Suradio (71)
mantan masinis kereta yang mengalami tragedi kecelakaan Bintaro 1987
tersebut ini, dalam pemberitaan di beberapa media pekan lalu membuat
kakek tua warga RT 02 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan,
Kecamatan Gebang, Purworejo ini mendadak tenar.
Apalagi setelah Mbah Slamet Bintaro,
sapaan akrabnya di daerah tempat tinggalnya, tampil dalam sebuah acara
televisi swasta, kisah nestapanya menggugah empati banyak orang.
Beberapa dermawan akhirnya mengulurkan
tangannya untuk membantu laki-laki yang saat menjalani hukuman penjara
di LP Cipinang istrinya direbut orang itu.
Di dunia maya, nama Mbah Slamet pun
tiba-tiba moncer. Di situs jejaring sosial Facebook juga muncul empati
dari facebuker (pengguna Facebook) yang membuat grup “Dukung Mbah Slamet
Memperjuangkan Uang Pensiunnya”.
Dalam group tersebut, banyak diupload
pemberitaan dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang
mengupas mengenai kisah- kisah kehidupan Mbah Slamet setelah menjalani
hukuman akibat diputus bersalah dalam tragedi Bintaro.
Kisah sedih Mbah Slamet juga mampu
menggugah rasa iba di kalangan para pengguna situs Kaskus. Di situs
tersebut juga muncul seruan untuk mendukung Mbah Slamet untuk
memperjuangkan uang pensiuannya. Bahkan beberapa orang menawarkan ide
menggalang donasi untuk membantu mantan masinis malang ini.
Layaknya seorang selebriti, ketenaran
mendadak itupun ternyata juga meminta “tumbal”. Mungkin bagi Anda sebuah
lapak tempat jualan itu menjadi barang yang tidak berharga.
Tapi tidak bagi Mbah Slamet yang hanya
memiliki penghasilan Rp 5.000 per hari dari pekerjaanya sebagai
pengasong rokok dan tukang kayu.
Lapak tempat dia jualan di perempatan BRI
Kutoarjo diambil paksa oleh pemiliknya. Tampilnya Mbah Slamet dalam
pemberitaan media dianggap pemilik lapak itu sebagai bukti Mbah Slamet
sudah mendapatkan uang pensiun.
“Dikira uang pensiuan saya sudah turun.
Keluarga saya memang punya hutang sama orang yang meminjami saya lapak.
Hutangnya 5 gram emas dan dijual dulu untuk mengurus pensiuan. Terus
saya ditagih hutang. Saya jelaskan uang pensiun belum turun, dia tidak
percaya. Akhirnya tempat jualan rokok itu diambil paksa,” keluh Mbah
Slamet dengan tertawa polos saat ditemui di sela-sela dia membuat lapak
baru di rumahnya, Rabu (13/10/2011).
Apes betul, ketenarannya itu juga membuat
orang-orang yang dulu disambati Mbah Slamet menganggap kehidupan suami
dari Tuginem (45) ini sudah mapan dan hidup layak. Padahal itu
berbanding terbalik. Belum ada perubahan yang mencolok. Blandar rumahnya
juga tetap keropos, bahkan dikhawatirkan bisa ambruk.
“Memang karena berita-berita kemarin, ada
beberapa orang yang baik hati memberi bantuan. Tapi itu digunakan istri
saya untuk memperbaiki rangka atap rumah. Kalau dibiarkan rumah bisa
roboh dan menimpa keluarga kami kan bisa celaka semuanya,” katanya.
Paiman (51), warga Tegal Kutoarjo yang
juga masih saudara dengan Mbah Slamet tadi datang untuk memastikan
keselamatan Mbah Slamet.
Sebab dia mendengar kabar lapak Mbah
Slamet sempat akan dibakar setelah dia menyatakan benar-benar belum
mendapat uang pensiun. “Saya kasihan, makanya untuk memastikan
kondisinya saya datang kesini,” katanya, tadi.
Paiman menegaskan, hingga hari ini uang
pensiun Mbah Slamet benar-benar belum turun. Oleh karena itu, dia
berharap ada orang atau lembaga bantuan hukum yang secara sosial
bersedia membantu Mbah Slamet untuk bisa memper-juangkan uang
pensiuannya.
Lagi-lagi karena uang pensiun itulah yang menjadi harapan Mbah Slamet yang kini usianya sudah semakin udzur.
Timbul pertanyaan, kenapa selalu masinis
yang dipersalahkan dalam setiap kasus tabrakan? Apakah ada yang salah
dengan hukum dan keadilan di negeri ini? Apa ada “main-main” di dalam
tubuh PT. KAI sendiri? atau ada hal lain?
Masinis hanyalah manusia atau karyawan
rendahan PNS yang menjalankan perintah sesuai semboyan perkereta-apian
yang diberikan dari atasannya. Justru jika ia tak melaksanakannya,
barulah ia melanggar perintah yang telah diberikan kepadanya.
diambil dari : https://indocropcircles.wordpress.com/2012/10/17/25-tahun-tragedi-bintaro-senin-19-oktober-1987-2012/
0 comments:
Posting Komentar