Kronologi kerusuhan Tasikmalaya ( 1996)
Kamis, 19 Desember 1996
Adalah seorang santri bernama Rizal, berusia 15 tahun. Si Rizal ini adalah santri tidak mondok alias santri kalong di Condong. Dia dihukum oleh Ustadz Habib
karena kedapatan mengutil dan mencuri barang-barang milik santri
lainnya sampai seharga Rp 130 ribu. Hukumannya berupa direndam selutut
di empang pesantren. Ini adalah hukuman yang biasa dilakukan di pondok
pesantren itu. Dan hukuman ini sudah seijin KH Makmun selaku pimpinan pesantren.(Lihat Catatan: Sebuah Pesantren yang Berbaur dengan Masyarakat)
Rupanya, Rizal langsung melaporkan kejadian ini kepada ayahnya, Kopral Nursamsi.
Anggota Sabhara Polres Tasikmalaya ini langsung mendatangi Condong
pada hari itu juga. Setelah Nursamsi menerima penjelasan KH Makmun dan
Ustadz Mahmud Farid, 38 tahun, pihak Pondok Condong merasa urusan ini
sudah selesai.
Jumat, 20 Desember 1996
Entah
mengapa datang surat pemanggilan untuk Habib Hamdani Ali, 26 tahun,
dan Ihsan, 25 tahun, dari Polres Tasikmalaya. Surat itu ditandatangani
oleh perwira jaga dan bukan oleh Kapolres Tasikmalaya Letkol Suherman.
Sabtu, 21 Desember 1996
Ustadz
Mahmud bersama KH Makmun datang ke Polres Tasikmalaya memenuhi
panggilan polisi. Namun, kedatangan kedua tokoh Condong ini tanpa
kehadiran Habib. Maka, pihak Polres meminta Habib untuk memenuhi
panggilan kedua pada hari Senin tanggal 23 Desember 1996.
Senin, 23 Desember 1996
Habib Hamdani Ali tiba pukul 8.30 pagi di Polres Tasikmalaya. Dia didampingi dua santri lainnya yaitu Ihsan dan Ate Musodiq. Ikut juga Ustadz Mahmud Farid. Mereka datang memenuhi panggilan polisi pada hari Sabtu. Mereka disambut empat petugas jaga.
Tiba-tiba, Kopral Nursamsi begitu melihat Habib langsung menjambak
rambut santri itu dan langsung memberinya pukulan. Entah mengapa,
keempat petugas jaga lainnya juga ikut menghajar dan menendang Habib.
Melihat hal ini, Ustadz Mahmud berusaha melerai dengan menghalangi empat
polisi -- Nursamsi, Serda Agus M, Serda Agus Y, Serda Dedi -- yang tengah membabibuta itu. Dia ingin melindungi Habib.
Namun
Mahmud malah menjadi bulan-bulanan polisi yang sudah lepas kontrol
itu. Belum puas menghajar, polisi-polisi tadi beralih menghajar Ihsan,
yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah.
Santri
Ate, begitu melihat penyiksaan terhadap ustadz dan rekan-rekannya
langsung kabur dari polres dan melapor kepada pimpinan pesantren, KH
Makmun. Tanpa menunggu lama, ayah Ustadz Mahmud ini segera melaporkan
penganiayaan atas anaknya kepada Wakil Bupati Tasikmalaya, Oesman Roesman. Dan Roeman segera memerintahkan Kepala Dinas Sosial Politik Kabupaten Tasikmalaya untuk meluncur ke Polres Tasikmalaya.
Menjelang
dhuhur penyiksaan baru dihentikan, tepatnya ketika utusan Pemda
Tasikmalaya tiba di Polres Tasikmalaya. Ustadz Mahmud yang sudah babak
belur segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. "Saya
ditendang dan dipukuli di ruang pemeriksaan dan tahanan, sembari
disuruh push-up. Dan yang menyakitkan, ada seorang petugas memaki-maki
saya dengan kata-kata kasar," tutur Ustadz Mahmud Farid kepada TEMPO Interaktif, Senin 30 Desember 1996, di Pondok Pesantren Condong.(Lihat Wawancara: Dua Ustadz yang Dianiaya Itu Bicara)
Ustadz
Mahmud hanya bertahan tiga jam di rumah sakit. Karena, rumah sakit
seperti "dikepung" santri dan masyarakat Tasikmalaya yang terus
berjubel dan ingin melihat kondisi Mahmud. Atas saran keluarga, Ustadz
Mahmud pulang ke rumah diantar orang tua dan puluhan santri. Hari sudah
sore, sekitar pukul 16.00.
Sorenya,
sekitar pukul 17.00, Kapolres Letkol Suherman didampingi Muspida
Tasikmalaya berkunjung sekaligus bersilahturahmi dengan pimpinan
pondok. Dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan pihak pesantren tak
akan menggugat polisi yang menyiksa pengasuh Condong. Kapolres pun
meminta maaf atas perbuatan anak buahnya dan segera akan menindak oknum
polisi tersebut. Selain itu, pihak Polres akan menanggung seluruh
biaya pengobatan.
Sejak
Mahmud Farid pulang ke rumah, di masyarakat dan kalangan pesatren
berkembang isu bahwa Mahmud dikabarkan meninggal dianiaya polisi.
Bahkan, Kiai Makmun pun digosipkan telah meninggal dunia. Dan kata
kabar angin itu, saat pengasuh dan santri Condong digebuki di Polres Tasikmalaya, terdengar ada kata-kata penghinaan dan pelecehan terhadap pemuka agama itu.
Bahkan, seorang pemilik warung di terminal Tasikmalaya pada TEMPO Interaktif mengaku mendengar bahwa Ajeungan Mahmud diserang dengan kata-kata "PKI". Tapi, Kepala Penerangan Kodam Siliwangi, Letkol Herman Ibrahim
tak yakin benar bahwa ada tuduhan "PKI" terlontar di Polres
Tasikmalaya. "Ada baiknya kita tunggu berita acara pemeriksaan," jelas
Letkol Ibrahim.
Walhasil,
isu pelecehan dan penghinaan serta kabar angin meninggalnya Ustadz
Mahmud meluas hingga ke luar Tasikmalaya. Akibatnya, banyak
"simpatisan" yang datang ke Tasikmalaya untuk mengkonfirmasikan berita
ini. Memang kebetulan ada seorang "Mahmud" yang meninggal, yakni
seorang tukang kayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa
itu.
Kamis, 26 Desember 1996
Isu
meninggalnya Ustadz Mahmud terus meluas. Maka pagi hari itu, sekitar
pukul 10.00, ribuan orang berkumpul di Masjid Agung Tasikmalaya, Jalan
H.Z. Mustofa, untuk melakukan doa bersama. Di tengah ribuan massa yang
terus bertambah, Komandan Korem 062 Tarumanegara, Kolonel M. Yasin,
menjelaskan bahwa oknum-oknum polisi yang menganiaya Ustadz Mahmud
beserta dua santrinya sudah ditangani oleh Detasemen Polisi Militer.
Ketika
ribuan orang berada di masjid, ribuan yang lain diam-diam mulai
bergerak ke arah Markas Polres di Jalan Yudanegara, yang berjarak
sekitar 500 meter dari masjid agung. Massa menuntut agar Kapolres
meminta maaf secara terbuka. Bupati dan Kapolres yang tengah berada di
Mapolres berusaha menenangkan massa yang kian tak sabar, sembari
meneriakkan takbir. Aparat keamanan berbaju hijau yang telah siaga
berusaha menghalau massa agar tidak merusak markas Polres Tasikmalaya
itu.
Sementara itu,
massa di masjid agung akhirnya terpecah-pecah. Sebagian mulai bergerak
ke arah Jalan H.Z. Mustofa dan mulai melakukan perusakan dan
pembakaran. Dua departmen store besar, Matahari dan Yogya, adalah bangunan pertama yang dihajar massa dengan batu dan kemudian dibakar.
Dari
Jalan H.Z. Mustofa, massa mulai menyebar ke arah Barat. Yang lainnya
menuju arah Timur dan massa inilah yang membakar Gereja Katolik Salib
Suci. Sementara nasib gereja lainnya yang berada di Jalan Salakaso,
Cipatujah, Veteran, dan Wiratuningrat, akhirnya mengalami nasib serupa.
Gereja-gereja itu dibakar dan dirusak.
Aparat
keamanan yang berasal dari Batalyon 330 Bandung, Batalyon 323
Majalengka, Batalyon 301 Sumedang, serta dari Kostrad dan Arhanud,
segera menghalau massa ke luar kota Tasikmalaya. Walau sudah
mengerahkan sekitar 800 personil, namun pembakaran dan pengrusakan
masih terus berlanjut. Bahkan kerusuhan meluas hingga Ciawi yang
berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, yang berjarak sekitar 50 kilometer
dari Masjid Agung Tasikmalaya. Massa yang sudah menyusut, ditaksir
berjumlah lima ribu orang, masih merusak dan membakar tiga pabrik,
sejumlah toko, serta membakar mobil yang diyakini milik warga non
pribumi.
Kejadian serupa
juga terjadi di Kawasan Sawalu yang berbatasan dengan Kabupaten Garut.
Selain toko dan kendaraan, beberapa mapolsek dan pos polisi dirusak
massa. Aksi perusakan dan pembakaran di luar kota Tasikmalaya
berlangsung hingga Jumat dinihari, 27 Desember 1996.
Sementara
di Kota Tasikmalaya, aparat keamamana baru dapat menguasai keadaan
sekitar pukul 17.00 WIB pada hari Kamis naas itu. Di beberepa tempat
saat itu masih terjadi pembakaran mobil, motor, dan apa saja milik
warga nonpri.
Pukul
21.00, Panglima Kodam III Siliwangi, Mayjen TNI Tayo Tarmadi, datang ke
Pondok Pesantren Condong untuk mengetahui kondisi kesehatan Ustadz
Mahmud dan bertemu dengan KH Makmun. Satu jam kemudian Pangdam mengajak
KH Makmun untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat melalui radio
di pendopo kabupaten. Dalam penjelasannya di radio, pimpinan pondok
pesantren berusia 74 tahun itu, membantah isu bahwa putranya, Ustadz
Mahmud, telah meninggal dunia. Ia menegaskan, bahwa kondisi putranya
hingga malam itu dalam keadaan sehat wal-afiat.
Dalam
peristiwa itu sempat ditahan 106 orang, namun sebagian dibebaskan
karena dianggap hanya ikut-ikutan. Sedangkan yang ditahan di Polres
Tasikmalaya tercacat 89 orang, tiga diantaranya wanita. Sementara
korban yang meninggal adalah Kio Wie, 60 tahun, meninggal karena terjebak api, Eli Santoso,
34 tahun, tewas karena penyakit jantung. Keduanya adalah warga
keturunan Cina. Dua orang lainnya tewas akibat amukan massa dan terjatuh
dari truk saat kerusuhan terjadi. Kedua korban terakhir ini diduga
ikut dalam rombongan massa.
Jumat sampai Minggu, 27 sampai 29 Desember 1996
Masyarakat
Tasikmalaya masih diliputi ketakutan. Puluhan toko dan pabrik banyak
yang menghentikan aktivitasnya. Sementara di berbagai sudut kota,
tembok, dan toko-toko, serta kendaraan bermotor, banyak dijumpai
kata-kata "muslim" atau "kepunyaan keluarga muslim". Agaknya, ini upaya
untuk menghindari amukan massa. Aparat Pemda dibantu organisasi pemuda
dan karang taruna, serta masyarakat pesantren, mulai membersihkan
sisa-sisa kerusuhan.
Senin, 30 Desember 1996
Pangdam
Siliwangi selaku Ketua Bakorstanasda Jawa Barat bersama Kapolda dan
Gubernur Jawa Barat, mengadakan silaturahmi dengan tokoh dan alim ulama
se-Tasikmalaya. Hadir dalam acara tersebut, Menteri Agama Tarmizi Taher, Ketua MUI KH Ali Yafie, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan dan tokoh-tokoh non-Islam.(Lihat Pendapat: "Di Tingkat Nasional Kerukunan Terwujud, Tapi Belum di Bawah...")
Kerusuhan yang diperkirakan menelan kerugian Rp 85 miliar tersebut disesalkan banyak pihak. Kapolda Jawa Barat, Mayjen Nana Permana,
yang aparatnya dituduh memicu kerusuhan ini berjanji akan menindak
tegas anak buahnya yang melakukan pelanggaran. "Semua berkasnya belum
saya terima. Mengenai hukuman, mahkamah militer yang akan memutuskan,"
ujar Nana Permana yang asli Tasikmalaya ini.(Lihat Wawancara Mayjen Nana Permana: "Bermata Tak Melihat, Berkuping Tak Mendengar")
Benarkah Peristiwa Tasikmalaya melulu soal kekesalan pada polisi? Tatang Setiawan,
Ketua Bina Sektor Informal Tasikmalaya, melihat lain ada penyebab yang
lain. Yaitu, kekecewaan masyarakat selama ini yang secara ekonomi
terpinggir. "Masyarakat Tasikmalaya itu kreativitasnya di bidang kredit,
bordir, anyaman, dan peternakan. Sebelum masuk pemodal kuat, mereka
dapat hidup layak dari usaha mereka. Tapi sekarang dengan masuknya
konglomerasi, masyarakat Tasikmalaya terpinggirkan," kata Tatang yang
punya anggota 1200 orang ini yang bergerak di 60 kelompok sektor
informal.(Lihat Wawancara Tatang Setiawan: "Konglomerat Datang, Mereka Pun Terpinggirkan")
Senin, 30 Desember 1996
Kota
Tasikmalaya, peraih Adipura 1995, berangsur-angsur pulih. Rakyat
kembali sibuk dengan kegiatannya. Sejumlah angkutan kota mulai melayani
masyarakat. Begitu pula kesibukan aparat pemerintahan. Polisi yang
sebelumnya seperti "menghilang" dari jalanan, kembali menjalankan
tugasnya mengatur lalu lintas. Namun, sebagian besar toko, swalayan,
dan bank-bank di Kota Tasikmalaya masih tutup. Sementara sisa-sisa
kerusuhan sudah tidak tampak di jalan. Hanya bangunan hangus yang jadi
saksi kerusuhan yang paling parah sepanjang sejarah Tasikmalaya itu.
Boleh
jadi, kerusuhan di Tasikmalaya bukan soal spontanitas atau
solidaritas. Karena, ada saja yang menyaksikan beberapa truk berukuran
besar penuh berisi manusia menurunkan "penumpang" di Tasikmalaya
menjelang kerusuhan. Kabarnya, sekitar seratus pengendara motor -- di
antaranya berambut gondrong, ada yang beranting dan berpeci -- juga
datang dari luar kota untuk mengajak orang-orang Tasikmalaya membuat
"perhitungan" karena ada muslim yang dianiaya. Inikah "kelompok" yang
dituduh Gus Dur sengaja memojokkan NU? Masih harus ditunggu
penyelidikan aparat keamanan.
Sementara,
seperti juga kasus di Situbondo, agaknya kasus di lumbung pesantren
Jawa Barat itu akan selesai di pengadilan. Aparat Polres Tasikmalaya
dan juga perusuh akan menjalani hukuman.
Tapi,
apakah akar permasalahan yang menyebabkan kerusuhan akan ditangani
pemerintah dengan tuntas? Ini yang belum kunjung tampak dilakukan.
Akar permasalahan itu, seperti kata Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Dr. Amien Rais, adalah tidak tahannya rakyat
menghadapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang telah
berlangsung cukup lama. Dan kezaliman itu bermula dari tiga penyakit
kronis yang seolah-olah tak pernah mampu dibasmi. Yakni korupsi yang
melembaga dan menyeruak ke seluruh sel-sel tubuh bangsa, kesenjangan
sosial yang makin gawat, dan perilaku buruk petinggi negeri yang
dirasuki paham aji mumpung.
diambil dari : http://khastasikmalaya.blogspot.com/2010/09/kronologis-kerusuhan-tasimalaya-th-1997.html
0 comments:
Posting Komentar