Aparat Tembaki Warga Hingga Tewas Saat Kampanye di Era “Orde Baru” Pada Pemilu 1982 di Jakarta
Ketika kelompok yang memiliki kekuatan
kekuasaan, kekuatan finansial, kekuatan teknologi dan kekuatan senjata,
menindas kelompok yang hanya memiliki kekuatan harapan dan moral dan
setumpuk kerentanan.
Karena pembungkaman media dimasa Orde
Baru, maka tragedi berdarah ini oleh masyarakat “tak tercium” , tak
terdengar, tak tercatat apalagi memiliki sebuah nama. Maka, untuk kali
pertamanya dalam sejarah dan demi sejarah, Admin ICC menjulukinya
sebagai “Tragedi Minggu Berdarah 1982″
Foto Kekerasan Pemilu 1982, Jakarta
(oleh: A. Haryandoko D)
(oleh: A. Haryandoko D)
…Inilah
sepenggal prologue yang sering dilantunkan Sang Dalang Wayang Kulit,
dalam acara hajatan perkawinan di zaman penjajahan Belanda dulu….
“Roh kejahatan dan
kekerasan yang dilambangkan dengan gelembung-gelembung keluar dari
telinga Prabu Rahwana, ketika mati dibunuh oleh Prabu Sri Rama, semakin
menyebar terus-menerus, keluar dari negeri Alengkadiraja.
Melintasi batas-batas
samudera dan batas waktu, akhirnya sampai juga di kepulauan Nusantara.
Kekerasan demi kekerasan muncul baik secara tersembunyi maupun secara
terbuka di negeri tempat Sumpah Palapa dikumandangkan.
Kelompok yang memiliki
kekuatan kekuasaan, kekuatan finansial, kekuatan teknologi dan kekuatan
senjata, menindas kelompok yang hanya memiliki kekuatan harapan dan
moral dan setumpuk kerentanan.
Menindas kejam secara
lemah lembut kelompok yang bodoh dan miskin informasi. Kendati
manusia-manusia tirani telah sirna dari muka bumi seperti halnya
Rahwana, namun roh dan semangat ketamakan dan angkara murka, masih terus
diwarisi secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Roh Rahwana dengan
segala daya dan upaya memutasi dirinya ke dalam bentuk yang lebih lembut
dan lebih menawan, namun lebih berbisa kejam gigitannya dan lebih ganas
dari mahluk yang paling keji penghuni neraka yang pernah muncul di bumi
ini.”
….demikianlah kira-kira terjemahan
tembang yang dilantunkan sang dalang wayang kulit dalam acara hajatan
perkawinan di jaman penjajahan Belanda dulu….
Kampanye Pemilu Legislatif 1982
Saya bekerja sebagai wartawan foto di sebuah majalah peternakan unggas “Poultry Indonesia” waktu itu, juga pada “Majalah Bursa Efek”. Selain itu saya banyak menggali informasi berkaitan dengan industri peternakan di Jawa dan Bali.
Momentum kampanye di era rezim Orde Baru
adalah ladang pengambilan foto-foto yang bisa bersifat dokumenter dan
bahkan spektakuler. Ini tidak lepas dari sifat pemerintahan waktu itu
yang sangat-sangat represif.
Kenangan “Minggu Berdarah” di masa pemerintahan Presiden Haji Muhammad Suharto.
Minggu, 25 April 1982 09.00. Saya keluar dari rumah di Cempaka Putih, membawa kamera Yashica SLR dengan lensa telezoom 75-300mm, siap dengan film.
Naik bemo ke daerah Paseban di depan Universitas Indonesia di Salemba, lalu saya berjalan kaki menuju ke Pasar Senen.
Hari ini adalah hari giliran Partai “Golongan Karya” atau Golkar berkampanye.
Di depan Bioskop Grand, banyak
orang berkelompok menunggu sesuatu di tepi jalan. Perasaan saya
mengatakan, akan terjadi sesuatu disitu. Hal ini terlihat dari gelagat
dan gerak orang-orang yang bergerombol disitu.
Kemudian saya berpindah tempat ke jembatan penyeberangan di dekat Bioskop Grand, yang sekarang sudah tak ada lagi bioskop itu.
Dari jembatan penyeberangan tersebut,
saya ambil gambar pertama. Iring-iringan pawai saat kampanye Golkar
mulai melewati tempat itu.
Mobil-mobil dan truk-truk dari pendukung “Golongan Karya” mulai melintas di depan kerumunan orang di tepi jalan.
Dia atas truk itu adalah masa pendukung Golkar, sedang yang menonton di tepi jalan adalah masa dari PDI dan PPP.
Mereka saling ejek mengejek. Disitu juga
sudah bersiaga tentara dan polisi. Truk yang pertama lewat, kemudian
disusul truk berikutnya. Masa pendukung Partai PDI dan Partai PPP saling
mengejek dengan pendukung Golkar yang ada diatas truk itu.
Sopir truk berikutnya ini terpancing emosi dan menghentikan kendaraannya yang penuh dengan masa pendukung Golkar.
Karena merasa bersama dengan masa
pendukung yang cukup banyak, maka sopir truk yang terdepan berhenti
ketika diejek oleh massa yang menonoton di tepi jalan (PDI dan PPP).
Kerumunan massa yang berada di depan
bioskop ini semakin mengejek ke massa yang ada di truk (dengan bendera
Merah Putih), bahkan mulai ada yang melemparkan batu ke arah massa yang
berada di atas truk.
Tentara dan polisi mulai bertindak,
karena lempar-melempar bertambah seru. Polisi menyuruh truk untuk
berjalan terus. Lemparan-lemparan batu masih terus berlangsung.
Kebetulan di sebelah Bioskop Grand, ada
pembangunan ruko, jadi cukup tersedia banyak batu-batu untuk
dilemparkan. Kerusuhan mulai terjadi ditengah massa yang saling melempar
batu.
Tanpa peringatan apapun, kemudian tiba-tiba terdengar bunyi letusan-letusan dari senapan!
Saya terus mengambil foto, sambil bertiarap diatas jembatan penyeberangan.
Terdengar suara peluru banyak berdesingan
ke arah jembatan di seberang, dan terdengar juga peluru mengenai
besi-besi jembatan penyeberangan. Seketika massa berlari-lari kocar
kacir menjauh menyelamatkan diri.
Namun….. setelah bunyi rentetan senjata sudah tak terdengar, pelahan saya bangkit dan turun dari jembatan penyeberangan.
Alhasil, di dekat ujung jembatan
penyeberangan sebelah Bioskop Grand yang berada didepan gedung yang baru
dibangun, telah bergelimpangan korban peluru tajam dari aparat
bersenjata.
Saya ambil foto secara cepat, beberapa
kali. Pada foto yang lain pria yang berbaju putih masih tampak berubah
posisi dan tangannya bergerak. (Lihat pada gambar disamping, tangannya
berubah posisi, menunjukkan masih hidup).
Juga seorang pemuda yang berkaos
garis-garis, kepalanya berdarah dan masih bergerak, namun tak terekam
atau tak terlihat pada foto saat ia bergerak. Foto berikutnya, saya
ambil dari atas jembatan penyeberangan sebelum turun.
Terlihat juga seorang pemuda yang telah
terkapar di dalam pagar bangunan. Punggungnya tertembus peluru, yang
jelas bukan peluru karet.
Polisi melarang saya mengambil foto-foto.
Mengapa? Mungkinkah mereka mau menutupi fakta tentang kekerasan yang
telah merenggut jiwa ini?
Namun saya tetap terus mengambil foto-foto, bahkan foto polisi yang melarang saya memotret.
Saya dikejarnya, tentu saja saya tak mau diam, saya lari sambil jepretkan kamera kesana-sini.
Ketika saya berlari turun dari jembatan
penyeberangan. Seseorang berambut gondrong dengan pakaian safari biru,
memegang lengan saya dari belakang.
Lalu ia bertanya, “Apakah kamu mengetahui kejadian awalnya?”, tanya pria yang mencurigakan itu.
Seketika, saya mencium gelagat tidak baik
dan langsung saya jawab, “Saya tidak tahu!”, sambil menepis tangan
orang itu dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sambil berjalan
cepat, saya masih sempatkan mengambil foto-foto insiden sekitar Salemba
dan Kramat.
Lalu selanjutnya saya ke Monas dan ke Harmoni. Naik turun bis, sambil melihat ada tidak yang mengikuti saya!
Yang jelas, dan dengan sangat yakin,
tragedi itu tak akan pernah ada yang berani memberitakannya, di media
apapun juga. Memang sungguh menegangkan pada masa itu.
Hari-Hari Penuh Kekhawatiran
Pasca penembakan pada tragedi itu, dihari berikutnya saya cetak foto-foto di Jakarta Foto. Teman-teman di kantor sangat surprise atas hasil pemotretan saya.
Dikala Rezim Otoriter pada masa Orde
Baru, sangat wajar mereka sekaligus mengingatkan saya, “Hendaknya
hati-hati dengan foto-foto yang sangat sensitif itu.”
Melalui atasan saya yang punya hubungan
dekat dengan perusahaan yang bergerak dibidang industri peternakan
unggas milik Probosutedjo, (saudara tiri H.M. Suharto) P.T. Mercu Buana,
akhirnya datang 4 orang yang mengaku kurir dari Bapak H.M. Suharto.
Mereka mengatakan,”Bapak (Presiden) hanya mau melihat foto-foto yang saya ambil……..”.
Namun anak kecil pada masanya pun tahu,
hingga kapan pun, kasus ini tak akan pernah terbongkar. Terbukti hingga
pada detik saat anda membaca artikel ini pun, tak banyak orang yang
tahu, karena peristiwa seperti ini tak akan pernah ada beritanya, baik
di televisi, koran, majalah, radio dan media massa apapun dimasanya.
Semoga saja dengan diturunkannya fakta
sejarah yang telah terkubur rapi ini, dapat kembali mengingatkan kita
semua – yang sangat sering dan mudah lupa.
Dan untuk yang tak mengalaminya, semoga mendapat pelajaran yang berharga. “Piye kabare, sih enak di jamanku toh?”. (Admin / ICC).
diambil dari : http://indocropcircles.wordpress.com/2014/04/28/kekerasan-pemilu-1982/
diambil dari : http://indocropcircles.wordpress.com/2014/04/28/kekerasan-pemilu-1982/
Bukti kejahatan rezim soharto..
BalasHapusperih ing batin.
BalasHapusprihatin atas otoritas rezim yg kurang baik.